Kisah
Air Mata Perlawanan: Mengapa Berpura-pura Menangis untuk Imam Husain Mendatangkan Pahala?
Ahlulbait Indonesia – Di antara narasi-narasi agung dalam sejarah manusia, tragedi Karbala memancarkan cahaya paling menyilaukan dari gugusan perlawanan. Di sanalah Imam Husain bin Ali (a,s) (cucu Rasulullah SAW) berdiri tegak, bukan hanya sebagai pribadi, tetapi sebagai mazhab hidup, mazhab Perlawanan terhadap kezaliman, korupsi moral, dan tirani kekuasaan.
Dalam hadis yang telah menjadi fondasi spiritual umat Islam, disebutkan bahwa, “Siapa yang menangis, membuat orang lain menangis, atau berpura-pura menangis untuk al-Husain, maka surga dijamin untuknya.” Hadis ini bukanlah seruan untuk sandiwara emosional, melainkan panggilan mendalam kepada hati nurani manusia. Untuk menyatu secara batin dan sosial dengan poros kebenaran yang ditandai darah suci Karbala.
Namun, benarkah air mata, bahkan yang berpura-pura bisa mendatangkan pahala?
Jawabannya: Ya. Tetapi hanya jika air mata itu, baik asli maupun tabaki (tangisan pura-pura), mengakar pada pemahaman dan komitmen terhadap jalan al-Husain. Karena yang dinilai bukan sekadar gerak fisik dari tangisan, melainkan keberpihakan. Keberpihakan kepada siapa yang kau tangisi, dan mengapa kau tangisi. Maka tabaki bukan tipu daya, melainkan latihan empati. Sebuah pernyataan batin tersebut adalah, “Aku ingin berada di jalanmu, meski jiwaku belum sampai sepenuhnya.”
Imam Husain (a,s) tidak mencari simpati kosong. Imam Husain memanggil manusia untuk melawan, bukan sekadar mengenang. Maka setiap ratapan yang dilantunkan dalam majelis duka, setiap dada yang dipukul dalam kesedihan, adalah deklarasi, bahwa “Aku tidak tunduk pada Yazid, sekarang dan kapan pun!”
Sayangnya, sebagaimana diingatkan oleh Syahid Murtadha Muthahhari dalam refleksi tajamnya, ritual ini perlahan meluruh ke dalam kebiasaan kosong. Banyak majelis berkabung kehilangan ruh perjuangan. Karbala direduksi menjadi seremoni tahunan, tanpa orientasi sosial, tanpa pelibatan dalam perjuangan kontemporer. Sehingga, jika Yazid bangkit dari kuburnya, mungkin akan duduk tenang di barisan depan majelis, bahkan menyumbang untuk pelaksanaannya.
Baca juga : Pemuda dengan Akal yang Matang: Pelajaran Kepemimpinan dari Rasulullah SAW
Inilah paradoks zaman kita hari ini, tangisan untuk Imam Husain yang tidak lagi menyinggung rezim-rezim Yazidiyah modern, tangisan yang steril dari kritik, jauh dari aksi, dan tercerabut dari konteks zaman. Maka tabaki kehilangan makna ketika tidak menjadi bagian dari Front Perlawanan. Air mata yang tidak menggerakkan hati untuk berpihak pada yang tertindas di Palestina, di Yaman dan di manapun, bukanlah air mata Husaini. Air mata itu hanya cairan sentimental yang jatuh tanpa arah.
Sebaliknya, satu tetes air mata yang jatuh karena kesadaran terhadap nilai perjuangan al-Husain, meski dibuat-buat, bisa menjadi bara dalam bara api revolusi batin. Karena Allah tidak melihat air matanya, tetapi tekad di baliknya. Allah SWT melihat keberpihakan, kesungguhan, dan arah orientasi sosial dari setiap kesedihan.
Maka, berpura-pura menangis untuk Imam Husain (a,s) hanyalah awal. Adalah latihan untuk menghadirkan getaran batin terhadap perjuangan melawan kebatilan. Dan dari tabaki, akan lahir taharruk (gerakan), dan lahir tashdiq (pembenaran), lahir tadhiyah (pengorbanan), dan akhirnya lahir tsabat (keteguhan) dalam barisan Ahlul Haq.
Imam Husain telah menyulut api yang tidak pernah padam. Jangan biarkan menjadi nyala lilin seremoni. Jadikan api pelita yang membakar kezaliman. Dan jika kita belum mampu menangis sungguhan, berpura-puralah. Sebab dalam dunia di mana kebenaran sering kali dibungkam, pura-pura menangis untuk al-Husain masih lebih bermakna daripada tersenyum bersama Yazid.
“Kullu yawmin ‘Ashura, wa kullu ardin Karbala.”
Karena, “Setiap hari adalah Asyura, dan setiap tanah adalah Karbala”.[]
Diadaptasi dari: Murtadha Muthahhari, “Tinjauan Singkat Gerakan-Gerakan Islam dalam Seratus Tahun Terakhir,” hlm. 83.
Baca juga : Syarat Dikabulkannya Doa
