Ikuti Kami Di Medsos

Kisah

Dari Taqiyah ke Izzah: Seruan Jiwa Pecinta Ahlul Bait

Dari Taqiyah ke Izzah: Seruan Jiwa Pecinta Ahlul Bait

Oleh: Erwin Lessy (Ketua Departemen Kaderisasi DPW ABI Sulsel)

Ahlulbait Indonesia — Di sebuah masa yang tidak terlalu jauh dari ingatan kami, menyebut nama Ali dengan rasa cinta adalah sebuah kemewahan yang hanya bisa dilakukan dalam doa-doa lirih. Kami lebih memilih diam, bukan karena cinta kami kecil, tapi karena dunia ini terlalu riuh, terlalu gaduh oleh kebencian, prasangka, dan kedangkalan, hingga nama suci itu tak bisa disebut tanpa konsekuensi.

Kami menunduk bukan karena malu. Kami bungkam bukan karena ragu. Tapi karena kami tumbuh di tengah masyarakat yang mencurigai keberanian sebagai arogansi, dan menuduh cinta sebagai makar. Di bawah langit yang keras dan mata yang tajam, kami belajar bahwa menyembunyikan keyakinan bisa memperpanjang usia. Maka kami diajari satu kata yang menjadi napas bertahan hidup kami, yaitu Taqiyah.

Taqiyah bukanlah bentuk pengingkaran. Taqiyah adalah tameng, pelindung di medan tempur yang tak kasatmata. Juga bahasa sunyi dari mereka yang terusir di negeri sendiri, yang mencintai dengan sembunyi, yang menyalakan pelita di tengah lorong gelap, tanpa diketahui siapa pun. Taqiyah menjaga anak-anak kami agar bisa tumbuh tanpa stempel pengkhianat di kening mereka. Taqiyah menjaga kami agar bisa menyampaikan kebenaran, walau lewat lorong-lorong sempit di hati manusia.

Tapi waktu terus bergerak, dan angin sejarah mulai berubah arah.

Hari ini, dunia tak lagi menakutkan karena pedang, melainkan karena kehampaan. Karena hidup yang terus dipenuhi kepura-puraan. Karena jiwa yang diam terlalu lama hingga kehilangan daya hidup. Dunia kini terbuka, pikiran terbuka, ruang bicara terbuka, dan suara-suara tak lagi bisa dibungkam seperti dulu. Maka jika kami hari ini masih memilih sembunyi, itu bukan karena penindasan… tapi karena kebiasaan sembunyi telah diwariskan terlalu lama, sampai kami terasa seperti aman.

Baca juga : Ada Banyak Jalan Menuju Tuhan, Namun Lewat ABI Paling Indah

Tapi kami lelah…..

Lelah mencintai secara diam-diam. Lelah menyebut nama al-Husain dalam sujud malam, tapi membisu ketika karakternya dicerca oleh kebodohan yang dibungkus keberanian palsu. Kami tahu, cinta yang tak pernah diungkap perlahan akan membusuk dalam dada. Ini akan menyesakkan, dan pelan-pelan akan membunuh dari dalam.

Bukankah Sayyidah Zainab berdiri kokoh di istana Yazid sendirian, terluka, tapi tak goyah, dan lantang menyuarakan kebenaran saat semua suara dibungkam? Bukankah Ali bin Abi Thalib, sang gerbang ilmu, tidak pernah menyimpan keadilan hanya demi rasa aman? Maka siapa kami ini, jika untuk berkata, “Aku Syiah Ali” saja, kami masih gemetar dalam ketakutan?

Perjuangan ini bukan tentang mencari menang. Bukan tentang memburu musuh. Ini adalah soal kejujuran pada diri sendiri. Bahwa kami tak ingin lagi menutupi cahaya dengan topeng kekhawatiran. Tak ingin lagi menyembunyikan cinta karena takut pada celoteh seseorang. Kami ingin cinta ini hidup, bukan hanya dalam zikir, tapi juga dalam langkah, dalam kerja, dalam suara, dalam keputusan, dan dalam identitas yang jelas.

Kami yakin, Imam Mahdi menatap dunia ini dari kejauhan. Dan saat beliau datang membawa panji kebenaran, beliau tidak mencari pengikut yang pandai menyamarkan cinta. Beliau membutuhkan mereka yang dari awal sudah berdiri, meski sendiri, dan berkata:

“Aku bersamamu, wahai Imam, bahkan sebelum engkau datang.”

Maka hari ini, kami memilih untuk tidak lagi takut mencintai secara terang-terangan. Kami mencintai Ali, mencintai Fatimah, mencintai Hasan dan Husain, serta para Imam suci dari keturunan mereka, dengan penuh kebanggaan dan kemuliaan. Tidak hanya dalam doa, tapi dalam hidup yang nyata. Dalam setiap keputusan yang kami ambil. Dalam setiap identitas yang kami tunjukkan.

Jika kami harus kehilangan tempat di dunia karena menyatakan cinta pada kebenaran, maka biarlah. Tapi jangan sampai kami kehilangan tempat di sisi al-Mahdi karena terlalu lama bersembunyi.

Ini adalah zaman untuk mencintai dengan izzah, dengan kemuliaan, martabat, dan keberanian.

Dan jika dahulu Imam Ali pernah berdiri sendirian membela kebenaran, maka hari ini, kami pun siap berdiri, meski harus sendirian, demi nama yang menjadi kemuliaan hidup kami: “Syiah Ali!”. Dan kami tidak takut mencintainya secara terang-terangan. []

Baca juga : Air Mata Perlawanan: Mengapa Berpura-pura Menangis untuk Imam Husain Mendatangkan Pahala?

Continue Reading