Akhlak
Memanfaatkan Nikmat Ilahi: Antara Syukur dan Tanggung Jawab

Ahlulbait Indonesia – Nikmat dari Allah SWT bagaikan modal suci yang dititipkan Sang Pencipta kepada hamba-Nya. Bayangkan seorang ayah yang memberikan harta kepada anaknya untuk membangun usaha. Jika sang anak mengelola modal dengan penuh integritas, memutar roda perniagaan secara bijak, dan menghasilkan keuntungan yang bermanfaat, sang ayah tentu akan mempercayakan lebih banyak lagi harta kepadanya. Namun, jika si anak menyia-nyiakan modal itu—menghamburkannya untuk kesenangan sesaat atau tindakan yang merusak—sang ayah pasti akan bertanya dalam kecewa, “Mengapa kuberikan ini padanya, jika justru ia menghancurkan dirinya sendiri? Apakah aku musuh baginya, sehingga kuizinkan ia terjerumus dalam kebinasaan?” Akhirnya, sang ayah pun menarik kembali kepercayaannya.
Demikianlah perumpamaan yang menggambarkan relasi manusia dengan nikmat Allah SWT. Setiap karunia—kesehatan, rezeki, ilmu, bahkan nafas—adalah amanah yang harus disyukuri dan dimanfaatkan sesuai jalan kebenaran. Barangsiapa lalai mensyukuri nikmat, menggunakannya untuk kemaksiatan, atau menganggapnya sebagai hak pribadi, maka Allah SWT berkuasa mencabutnya seketika. Sebagaimana firman-Nya, “لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ—‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu.’ (QS Ibrahim: 7). Bagi kaum Mukmin, syukur bukan sekadar ucapan di lisan, melainkan sikap hati yang mengakui bahwa segala sesuatu adalah milik-Nya. Mereka tetap melihat diri mereka tenggelam dalam samudera nikmat, bahkan saat diuji dengan musibah, karena yakin bahwa cobaan pun adalah bentuk kasih sayang Allah yang tersamar.
Baca juga : Berhati-Hati Terhadap Fatamorgana Dunia: Renungan atas Nasihat Imam Ali a.s.
Kisah Imam Ja’far Shadiq a.s. dan Pengemis yang Tak Pernah Berhenti Bersyukur
Di tengah teriknya Mina, Imam Ja’far Shadiq a.s. duduk bersandar di bawah naungan pohon, menikmati buah anggur segar bersama murid-muridnya. Tiba-tiba, seorang pengemis dengan pakaian lusuh mendekat, tangan terbuka meminta belas kasih. Tanpa ragu, Sang Imam menyodorkan setandan anggur yang sedang ia santap. Si pengemis menerimanya dengan wajah berbinar, lalu mengangkat tangan seraya berbisik, “Alhamdulillah… Segala puji bagi Allah yang memberiku rezeki melalui hamba-Nya yang dermawan.”
Melihat ketulusan syukur itu, Imam tersenyum. Dari saku jubahnya, ia mengeluarkan sekeping uang dan memberikannya kepada pengemis. Sekali lagi, si fakir mengucap syukur kepada Allah SWT, bukan kepada manusia. Seolah tak ingin berhenti memberi, Sang Imam melepaskan jubahnya yang melekat di badan dan menyelimutkannya ke tubuh si pengemis. “Alhamdulillah… Allah Mahabaik, selalu mencukupkan hamba-Nya yang sabar,” gumam pengemis itu sembari melangkah pergi, mendoakan kebaikan untuk Sang Imam.
Salah seorang murid yang menyaksikan kejadian itu bertanya, “Wahai Imam, mengapa engkau terus memberinya selama ia bersyukur?” Sang Imam menjawab dengan mata berkilat penuh makna, “Andai ia tetap mengucap syukur, niscaya aku akan terus memberinya hingga tak tersisa sehelai benang pun di tubuhku. Karena syukur adalah kunci yang membuka pintu langit, mengubah pemberian kecil menjadi berkah yang tak terhingga.”
Perawi mengatakan:
“Jika orang fakir itu terus menyatakan rasa syukur kepada Allah atas apa yang diberikan oleh Imam kepadanya, maka Imam akan tetap memberikan semua yang dimilikinya hingga tidak tersisa lagi baginya sesuatu untuk diberikan.”
Pelajaran dari Kisah Ini
Kisah ini mengajarkan bahwa syukur bukan hanya reaksi atas nikmat, melainkan sikap hidup yang meluaskan rezeki dan memantulkan cahaya Ilahi. Setiap kali kita mengucap “alhamdulillah”, kita sedang menanam benih nikmat baru. Sebaliknya, kelalaian bersyukur ibarat memutus rantai kasih-Nya. Maka, jadikanlah setiap hela nafas, setiap detik waktu, dan setiap keping rezeki sebagai sarana mendekat kepada-Nya. Sebab, nikmat yang disyukuri takkan pernah mati—ia akan abadi sebagai bekal menuju keabadian.[]
Sumber Inspirasi:
IRIB Indonesia
Baca juga : Tidak Ada Amalan yang Bernilai Sedikit