Ayatullah Taqi Misbah Yazdi: Makna Qadha dan Qadar yang Benar (2/3)
Ketika Musa as mencapai usia dewasa di bawah asuhan Fir’aun dan membunuh seorang Mesir, seseorang menasihatinya supaya meninggalkan istana, karena orang-orang Fir’aun sedang bersekongkol untuk membunuhnya. Musa menerima nasihatnya. Ia lalu meninggalkan Mesir dan pergi ke Madyan. Setelah menempuh perjalanan panjang, di Madyan orang-orang sedang berkumpul di sekitar sebuah sumur dan menimba air untuk memberi minum biri-biri. Musa, yang lelah dan lapar, duduk di suatu sudut untuk melepaskan lelahnya. Tiba-tiba matanya jatuh pada dua gadis suci yang sedang berdiri di sudut lain dan menjaga biri-birinya. Musa bangkit lalu menghampiri mereka seraya bertanya, “Mengapa kalian tidak memberi minum biri-biri kalian?”
Pembahasan sebelumnya Ayatullah Taqi Misbah Yazdi: Makna Qadha dan Qadar yang Benar (1/3)
Mereka menjawab, “Ayah kami yang sudah tua tinggal di rumah dan tak mampu melakukan tugas menggembala. Karena itu, kamilah yang harus membawa biri-biri ini ke mari. Dan kami baru bisa memberinya minum setelah para penggembala itu selesai meminumkan biri-biri mereka, atau sampai seseorang datang menolong kami menimbakan air dari sumur itu. Kami tak dapat melakukannya sendiri.”
Musa maju, mengambil ember, dan meminumkan biri-biri itu sebagaimana diceritakan oleh al-Quran, surah al-Qashash, di mana kemudian Nabi Syu’aib as mengawinkan seorang anak gadisnya dengan Nabi Musa as, dan Musa tinggal sepuluh tahun di Madyan sambil bekerja sebagai gembala.
Semua peristiwa ini, yang membentuk sistem dari aneka fenomena, adalah tindakan yang dilakukan oleh orang-orang tertentu, yang lahir dari kehendak bebas mereka sendiri berdasarkan motif-motif khusus dan untuk tujuan khusus. Musa as tidak meninggalkan Mesir dengan tujuan menemui Nabi Syu’aib. Beliau hendak menyelamatkan diri dari kejahatan Fir’aun, dan sangat boleh jadi ia tak tahu bahwa Syu’aib as berada di sana dan mempunyai anak perempuan, dan bahwa dia adalah nabi di kota itu. Tetapi Allah telah menakdirkan bahwa di satu sisi Musa melayani seorang nabi besar sepert Nabi Syu’aib as, yang sedang di hari tua dan tak mampu bekerja, di sisi lain ia telah menakdirkan putri Syu’aib kawin dengan Musa, dan bahwa setelah sepuluh tahun, ketika Musa diangkat menjadi nabi, mereka kembali ke Mesir dan menyerukan Fir’aun untuk menyembah Allah Yang Maha Esa. Ini semua takdir Allah.
Tetapi, adakah dalam takdir-takdir ini suatu paksaan pada Musa, Syu’aib, atau putrinya? Tidak! Semua tindakan itu dilakukan menurut pilihan bebas. Namun, ada suatu pengaturan dan perencanaan yang bijaksana, dan itulah rencana Allah. Di sinilah Allah berkata, “Hai Musa! Engkau ke sini atas dasar kebijaksanaan yang tepat dan rencana yang akurat, serta peristiwa ini harus terjadi supaya di lembah yang aman ini engkau menerima tugas suci kenabian lalu pergi kepada Fir’aun.”
Peristiwa-peristiwa tersebut adalah pengantar bagi tugas ini, tetapi pada tahap mana pun tidak terdapat paksaan pada Musa atau pada yang lain-lainnya. Apabila kita berpikir dengan cermat tentang peristiwa-peristiwa dalam kehidupan kita sehari-hari, kita akan melihat bahwa ada ribuan pengantar yang telah disediakan Allah Yang Mahakuasa dengan rencana-Nya.
Dalam Hadis Qudsi, Allah berfirman, “Aku memperlakukan setiap orang dari keturunan Adam dengan demikian ramahnya dan dengan kasih sayang, seakan-akan Aku hanya mempunyai makhluk itu, tetapi makhluk-makhluk-Ku memperlakukan Aku seakan-akan setiap orang kecuali Aku adalah Tuhannya.”
Ini adalah pengaduan Allah dalam Hadis Qudsi. Dengan demikian, setiap makhluk harus mengetahui bahwa ia secara konstan berada di bawah perencanaan dan pengawasan Allah, bahwa apa yang ditetapkan Allah baginya adalah baik, dan bahwa apa yang ditetapkan-Nya sebagai kewajiban dan tanggung jawabnya adalah baik. Oleh karena itu, kita harus tahu bahwa semua takdir Ilahi adalah demi kebaikan kita, sekalipun berbentuk bencana dan kesukaran yang nampak merugikan pada lahirnya.
*Dikutip dari karya Ayatullah Taqi Misbah Yazdi, Monoteisme sebagai Sistem Nilai dan Akidah Islam