Kegiatan ABI
Peringatan Tragedi Karbala 1447 H di Malang: Menyambut Rencana Ilahi dan Kebangkitan Spirit Perlawanan
Malang Raya, 6 Juli 2025 — Ratusan jamaah dari berbagai kalangan dan wilayah Malang Raya memadati Gedung Husainiyah Misbah Al-Huda, Minggu siang (6/7), dalam rangka mengikuti Majelis Peringatan Hari Asyura 1447 H. Acara ini menjadi momen puncak kontemplasi spiritual dan ideologis bagi para pecinta Ahlul Bait as, mengenang pengorbanan monumental Imam Husain as dan para Syuhada Karbala.
Rangkaian Acara
Acara yang berlangsung sejak pukul 13.00 hingga 17.00 WIB ini diawali dengan renungan pembuka oleh Sendiko, dilanjutkan dengan ceramah Asyura oleh Ustadz Zahir Yahya, pembacaan Maqtal Imam Husain as oleh Ustadz Hud Assegaf, serta penampilan maktam (puisi duka) oleh Sayyid Muhammad dan Sdr. Rofiq.
Ustadz Zahir menegaskan, melihat berbagai perkembangan global akhir-akhir ini, kita tidak boleh membacanya secara parsial, seolah-olah ini berdiri sendiri. Islam mengajarkan kita untuk selalu membaca realitas dalam bingkai rencana besar Allah SWT sebuah cakrawala strategis, bukan sekadar narasi lokal atau geopolitik.
Di sana ada konfrontasi agung, konfrontasi antara dua poros utama peradaban. Poros kebenaran (al-Haqq), dipimpin oleh Rasulullah dan dilanjutkan oleh para imam Ahlul Bait, Poros kebatilan (al-Batil), yang terus-menerus berupaya menggagalkan proyek Ilahi ini dari zaman ke zaman.
Inti Pesan: Islam sebagai Proyek Peradaban Ilahi
Dalam ceramah bertajuk “Keberpihakan kepada Imam Husain dan Rencana Global Ilahi”, Ustadz Zahir Yahya memaparkan bahwa Asyura adalah momen kebangkitan kesadaran, bukan sekadar ritual duka. Menurut beliau, tragedi Karbala harus dibaca dalam bingkai rencana strategis Allah SWT, yaitu untuk menegakkan Islam sebagai agama universal dan unggul atas seluruh sistem kehidupan, sebagaimana ditegaskan dalam QS. At-Taubah: 33.
“Islam bukan agama ritual. Islam adalah sistem peradaban yang akan menang atas seluruh ideologi dunia, dan al-Husain adalah penjaga jantungnya,” ujar beliau dengan tegas.
Imam Husain a.s, Tembok Terakhir Penjaga Kebenaran
Ustadz Zahir menjelaskan bahwa pengorbanan Imam Husain a.s. merupakan respon strategis terhadap proses deformasi Islam yang terjadi di era kekuasaan Bani Umayyah, khususnya di bawah pemerintahan Yazid bin Muawiyah. Ketika nilai-nilai Islam hendak dikompromikan demi stabilitas politik, Imam Husain berdiri sebagai filter terakhir untuk mempertahankan kemurnian risalah Rasulullah SAW.
“Tanpa darah al-Husain, Islam tinggal nama dan kulit. Ia akan jadi agama ritual yang patuh kepada penguasa zalim,” kata beliau.
Beliau menukil sabda Nabi Muhammad. “Husain dariku dan aku dari Husain”, yang menurut beliau bukan sekadar pernyataan emosional, tapi pengakuan eksistensial, bahwa keberlangsungan Islam Nabi Muhammad SAW bersandar pada pengorbanan Imam Husain a.s.
Keberpihakan sebagai Awal Keterlibatan dalam Proyek Ilahi
Salah satu titik tekan utama dalam ceramah ini adalah pentingnya keberpihakan ideologis dan spiritual kepada perjuangan Imam Husain a.s.. Mengutip kisah dari Imam Ali a.s. pada peristiwa Perang Jamal, Ustadz Zahir menekankan bahwa niat dan kecenderungan batin sudah bernilai sebagai kehadiran dalam perjuangan, jika dilandasi kejujuran dan keinginan kuat.
“Kalau hari ini kita belum mampu memikul pedang, setidaknya kita bisa berdiri di barisan yang benar. Keberpihakan adalah awal dari keterlibatan dalam sejarah,” seru beliau.
Namun beliau menegaskan bahwa keberpihakan tidak cukup jika hanya berupa ratapan emosional. Ini harus berkembang menjadi tindakan konkret, yaitu pendidikan, ekonomi, komunitas, perlawanan sosial, hingga kontribusi pemikiran dan finansial.
Baca juga : Peringatan Tragedi Karbala di Jawa Timur: Penegasan Spirit Perlawanan terhadap Kezaliman
Kritik terhadap Islam Ritualistik dan Kebersyiahan Emosional
Ustadz Zahir menyampaikan kritik tajam terhadap penyempitan makna Islam menjadi sekadar agama personal dan ritual privat. Menurutnya, Islam saat ini sering direduksi menjadi aturan adab makan, tidur, dan ibadah personal, tapi tidak membangun kekuatan sosial-politik yang menantang sistem zalim.
“Musuh tidak takut pada Islam yang hanya bicara fiqih wudhu. Mereka takut pada Islam yang mengangkat senjata ide, menantang status quo,” ujar beliau sambil mengisahkan tanggapan enteng penjajah Inggris terhadap azan di masa kolonial Irak: “Biarkan mereka azan hingga pagi, selama itu tidak menumbuhkan perlawanan.”
Beliau juga menyindir kebersyiahan yang hanya berhenti pada kenangan sejarah dan kutukan terhadap Yazid, tapi tidak hadir saat kezaliman masa kini merajalela.
“Jika engkau menangisi Karbala tapi diam terhadap Gaza, berarti engkau hanya menangisi sejarah, bukan menegakkan kebenaran.”
Imam Khomaini Simbol Islam yang Bergerak dan Menantang
Dalam menjawab bagaimana Islam bisa dihidupkan kembali sebagai sistem yang aktif, beliau mengangkat sosok almarhum Imam Ruhullah al-Khomaini sebagai teladan konkret.
“Imam Khumaini mengembalikan Islam dari ruang privat ke ruang publik. Imam Khomeini membuktikan bahwa cinta pada Ahlul Bait harus mewujud sebagai sistem politik dan perlawanan terhadap penindas.”
Menurutnya, Revolusi Islam 1979 bukan sekadar peristiwa geopolitik, tetapi proyeksi aktual dari semangat Asyura di zaman modern.
Konflik Palestina, Iran, dan Hegemoni Zionis
Di bagian akhir ceramah, Ustadz Zahir mengajak jamaah untuk membaca ulang realitas dunia kontemporer sebagai lanjutan proyek Ilahi dan benturan dua poros peradaban.
1. Poros Wilayah (Kebenaran) yang dipimpin oleh Waliyyul Amr dan gerakan resistensial Islam
2. Poros Taghut (Kebatilan) yang dipimpin oleh hegemoni zionis-global
“Ini bukan konflik antara Iran dan Israel. Ini benturan dua dunia. Dua jalan sejarah. Dan kita, hari ini, ada di tengah medan itu.”
Beliau menyatakan bahwa kemerdekaan Palestina bukan tujuan akhir, tapi bagian dari jalan menuju tegaknya sistem Islam global di bawah Imam Mahdi afs.
Tangisan SajaTidak Cukup
Dalam penutupan ceramah, Ustadz Zahir mengingatkan bahwa semua pengakuan, semua ziarah, semua doa, dan tangisan selama Muharram harus bermuara pada satu hal, yaitu keputusan untuk berpihak.
“Sejarah tidak akan mencatat mereka yang hanya kagum. Sejarah ditulis oleh mereka yang berpihak. Yang hadir. Yang siap.”
Majelis ditutup dengan lantunan salam duka kepada Imam Husain, para sahabat dan keluarga beliau, serta doa penuh harap akan kedatangan Imam Mahdi afs dan kesiapan untuk menjadi bagian dari barisannya. []
