Kegiatan ABI
Peringatan Tragedi Karbala di Jawa Timur: Penegasan Spirit Perlawanan terhadap Kezaliman
Pasuruan, Minggu 6 Juli 2025 — Ribuan jemaah dari berbagai kota di Jawa Timur memadati Gedung Husainiyah al-Qurba, Suwayuwo, Sukorejo, pada Sabtu, 6 Juli 2025. Mereka hadir untuk mengikuti peringatan Asyura 1447 Hijriah, sebuah momentum duka sekaligus renungan atas pengorbanan Imam Husain bin Ali bin Abi Thalib a.s., cucu Rasulullah SAW, yang syahid dalam tragedi Karbala pada 10 Muharram 61 H.
Acara ini diselenggarakan oleh Husainiyah al-Qurba sebagai bagian dari tradisi tahunan yang sarat makna spiritual, sejarah, dan keteladanan. Dengan suasana yang penuh khidmat, para jemaah mengikuti rangkaian acara yang menggugah kesadaran kolektif akan pentingnya keadilan dan keberanian dalam menghadapi tirani.
Rangkaian Acara Utama:
1. Pembacaan Maktal I oleh Sayyid Mustofa Al Jufri (Solo)
2. Pembacaan Maktal II oleh Sayyid Jawad Baabud
3. Ceramah oleh Ustadz Abdillah Baabud
Tragedi Karbala: Simbol Perlawanan Spiritual yang Kekal
Ustadz Abdillah menegaskan bahwa Imam Husain a.s. tidak pernah bergerak karena ambisi politik atau kekuasaan duniawi. Seluruh langkah beliau adalah upaya islah (perbaikan) untuk mengembalikan umat Islam kepada nilai-nilai Tauhid dan keadilan yang telah dirusak oleh kekuasaan zalim di masa itu.
Beliau mengutip pernyataan Imam Husain. “Aku tidak bangkit karena ambisi, kesombongan, atau kezaliman. Aku bangkit untuk menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar, serta berjalan di jalan kakekku dan ayahku, Ali bin Abi Thalib.”
Iran dan Palestina: Karbala Era Modern
Peringatan Asyura kali ini juga menjadi ajang refleksi terhadap kondisi global kontemporer, yang oleh Ustadz Abdillah disebut sebagai “Karbala zaman ini”. Beliau secara lugas menegaskan bahwa Palestina dan Iran merupakan dua entitas yang sedang menjalani peran Imam Husain di masa kini, menolak tunduk pada kekuasaan zalim global, meski harus membayar mahal.
“Lihatlah kondisi hari ini. Palestina dijajah, dibombardir tanpa henti. Iran diboikot, diisolasi, difitnah. Apa salah mereka? Karena mereka berkata. Tidak! Mereka menolak tunduk. Dan seperti Karbala dulu, dunia pun memilih diam.”
Ustadz Abdillah membandingkan Amerika Serikat dan Israel dengan Firaun dan Namrud, dua simbol tirani mutlak dalam sejarah kenabian.
“Keduanya adalah lambang modern dari penguasa zalim yang tidak bisa menerima penolakan. Mereka sudah menguasai dunia: ekonomi, teknologi, bahkan media. Tapi masih belum puas. Karena yang mereka inginkan bukan sekadar dominasi, mereka menuntut kepatuhan penuh. Siapa pun yang tidak sujud pada mereka, akan dimusuhi, dibungkam, dan dihancurkan.”
Baca juga : Peringatan Tragedi Karbala 1447 H di Malang: Menyambut Rencana Ilahi dan Kebangkitan Spirit Perlawanan
Beliau mengkritik keras kebungkaman dunia Islam terhadap penjajahan atas Palestina, dan kebisuan terhadap upaya kemandirian Iran, sambil mengingatkan bahwa watak Yazid, Firaun, dan Namrud tidak pernah benar-benar mati. Mereka hanya berganti nama dan bendera.
Narasi yang Menyesatkan, Ancaman Baru atas Kesucian Karbala
Ustadz Abdillah juga memperingatkan bahaya narasi-narasi modern yang mencoba mendistorsi makna perjuangan Karbala. Menurutnya, menganggap perlawanan Husain sebagai kesalahan strategi atau ambisi politik adalah bentuk kezaliman intelektual yang menghapus dimensi spiritual perjuangan tersebut.
“Kalau Anda berkata bahwa Al-Husain hanya keras kepala, tertipu, atau emosional, maka Anda sedang merendahkan darah suci yang tumpah di Karbala. Ini bukan sekadar kesalahan. Ini penghinaan terhadap cahaya wahyu.”
Bara Karbala yang Tak Pernah Padam
Dalam penutup ceramahnya, Ustadz Abdillah menegaskan bahwa Karbala adalah titik kulminasi antara hak dan batil yang baranya tidak akan pernah padam.
“Selama dunia ini masih ada Firaun, Namrud, Yazid dan antek-anteknya, maka Karbala akan terus hidup. Tapi akan selalu ada orang-orang yang siap berkata tidak, seperti Husain.”
Doa dan Janji Setia
Acara ditutup dengan doa bersama, seruan duka, dan ikrar untuk terus berada di barisan kebenaran. Para jemaah mengangkat tangan tinggi-tinggi seraya mengucapkan:
“Ya Allah, jangan biarkan kami menjadi umat yang membiarkan Husain dibantai lagi di zaman ini.”
Majelis Peringatan Asyura 1447 H di Surabaya ini bukan sekadar peringatan. Ini adalah sinyal kebangkitan spiritual dan politik, sekaligus seruan untuk membela nilai dan keberanian dalam menolak kezaliman baik lokal maupun global. Di tengah dunia yang semakin terpolarisasi dan penuh kemunafikan, semangat Karbala tetap menjadi kompas moral bagi umat yang tak sudi tunduk pada kekuasaan zalim.[]
