Ikuti Kami Di Medsos

Kegiatan ABI

Ustadz Zahir Yahya: Badai Al-Aqsa Menumbangkan Mitos “Israel Tak Terkalahkan”

Ustadz Zahir Yahya: Badai Al-Aqsa Menumbangkan Mitos “Israel Tak Terkalahkan”

Jakarta, 9 Oktober 2025 — Ketua Dewan Pembina Lembaga Otonom (LO) Ahlulbait Indonesia (ABI), Ustadz Zahir Yahya, menegaskan bahwa peristiwa Badai Al-Aqsa 7 Oktober 2023 telah menumbangkan mitos lama tentang keperkasaan militer Israel. Menurutnya, serangan tersebut bukan hanya operasi militer, tetapi juga peristiwa sejarah yang mengguncang keyakinan global mengenai “entitas yang tak terkalahkan”.

“Peristiwa 7 Oktober menjungkirbalikkan keyakinan bahwa Israel adalah entitas yang tak terkalahkan. Seluruh mitos tentang kekuatan militer, keamanan, dan intelijen mereka runtuh hanya dalam hitungan jam di tangan sekelompok kecil pejuang dengan strategi sederhana namun efektif,” tegas Ustadz Zahir dalam rapat Dewan Pembina LO ABI di Kantor DPP ABI, Jakarta, Kamis (9/10).

Baca juga : ABI dan ITB Ahmad Dahlan Jajaki Kerja Sama Beasiswa dan Kolaborasi Ekonomi

Momentum Refleksi dan Penegasan Posisi Umat

Rapat yang dihadiri para pengurus lembaga otonom, Muslimah ABI, Pandu ABI, dan ABI Responsif, itu mengangkat tema “Mengenang Badai Al-Aqsa 7 Oktober dan Peran ABI dalam Mendukung Perjuangan Rakyat serta Bangsa Palestina.”

Dalam sambutannya, Ustadz Zahir menegaskan bahwa peringatan 7 Oktober bukan hanya ritual peringatan, melainkan momentum refleksi strategis bagi umat Islam untuk menilai posisi mereka dalam perjuangan global melawan kezaliman.

Menurut beliau, peristiwa itu mengingatkan dunia bahwa kekuatan yang berlandaskan iman dan keberanian dapat menembus dominasi sistem militer tercanggih sekalipun. Beliau mengutip pidato Sayyid Hasan Nasrullah pada tahun 2000 di Bint Jbeil yang menyebut bahwa Israel tidak lebih kuat dari sarang laba-laba.

“Secara lahiriah Israel tampak kuat, tetapi di baliknya terdapat kelemahan struktural besar yang bisa dimanfaatkan oleh kekuatan Perlawanan,” ujarnya.

Ujian Ideologis: Menentukan Front Kebenaran

Ustadz Zahir menilai bahwa peristiwa Badai Al-Aqsa juga menghadirkan ujian ideologis bagi umat Islam, untuk menentukan di front mana mereka berdiri, kebenaran atau kebatilan.

“Peristiwa ini membagi umat menjadi dua golongan: mereka yang peduli dan berpihak pada perjuangan Palestina, serta mereka yang diam atau justru berpihak kepada musuh. Ini bukan semata persoalan politik, melainkan bagian dari rencana besar Tuhan,” jelasnya.

Beliau mengutip Surah Ar-Rum ayat 33 untuk menegaskan bahwa misi kerasulan adalah menjadikan Islam unggul di atas seluruh sistem nilai.

Misi ini, kata beliau, diwariskan kepada para Imam dan kaum mukminin di setiap zaman sebagai tanggung jawab spiritual dan sosial yang harus terus dihidupkan.

Dari Kepedulian ke Aksi Konkret

Dalam pemaparannya, Ustadz Zahir menekankan bahwa keterlibatan umat dalam perjuangan tidak selalu bersifat militer, tetapi dapat diwujudkan melalui berbagai bentuk kontribusi, termasuk keberpihakan moral, kegiatan sosial, ekonomi, pendidikan, hingga budaya.

Baca juga : Waketum ABI: “Kekuatan ABI Terletak pada Keyakinan Total dan Konsolidasi yang Rapi”

“Menunjukkan keberpihakan adalah langkah minimal, bukan akhir. Umat harus membangun infrastruktur sosial, ekonomi, dan pendidikan yang kuat agar mampu berdiri sejajar menghadapi musuh-musuh Islam,” ujarnya.

Beliau menekankan pentingnya membangun kekuatan internal umat melalui lembaga yang solid dan kesadaran politik-ideologis yang berpihak kepada perjuangan melawan penindasan global.

Teladan Imam Khomeini: Dari Spiritualitas ke Gerakan Sosial

Dalam bagian lain sambutannya, Ustadz Zahir menyoroti figur Imam Khomeini sebagai teladan yang berhasil mentransformasikan kesetiaan kepada Ahlul Bait menjadi kekuatan sosial-politik yang mengubah arah sejarah.

“Revolusi Islam Iran 1979 adalah terminal penting dalam pertarungan antara hak dan batil. Imam Khomeini mengubah loyalitas terhadap Ahlul Bait dari sebatas ritual menjadi kekuatan sosial-politik yang hidup di tengah masyarakat,” jelasnya.

Beliau menegaskan bahwa komunitas Syiah di Indonesia kini memetik buah dari perjuangan tersebut, sehingga wajib menjaga ‘kebersyiahan yang komprehensif’, yakni Syiah yang hadir dalam seluruh dimensi kehidupan: personal, sosial, politik, ekonomi, dan budaya.

“Kita harus waspada terhadap upaya menghadirkan bentuk Syiah yang tidak pro-Palestina atau yang apolitis terhadap kaum tertindas. Syiah seperti itu justru akan membawa kita mundur ke masa sebelum revolusi,” tegasnya.

Islam yang Hidup dan Menghidupkan

Menutup sambutannya, Ustadz Zahir menegaskan bahwa Islam sejati bukan hanya sistem keimanan, melainkan juga sistem kehidupan yang menghadirkan keadilan, kesejahteraan, dan martabat manusia.

“Islam harus menjadi kekuatan yang hidup dan menghidupkan. Momen 7 Oktober bukan sebatas peringatan tragedi, melainkan terminal sejarah yang akan mengantarkan pada kemenangan-kemenangan yang lebih besar di masa depan,” pungkasnya.

Ustadz Zahir mengakhiri sambutan dengan doa dan harapan agar umat Islam (khususnya komunitas dan kader Ahlulbait) senantiasa menjadi bagian dari front kebenaran yang konsisten memperjuangkan keadilan dan pembebasan Palestina. []

Baca juga : Beragama Maslahat dalam Pelestarian Lingkungan: Dari Spiritualitas ke Kesadaran Publik