Kegiatan ABI
Wawancara Eksklusif: Syiah, Pesantren, dan Ormas ABI di Jepara sebagai Ruang Harmoni
Jepara, 21 Agustus 2025 – Di tengah dinamika relasi Sunni–Syiah yang kerap diwarnai ketegangan di sejumlah daerah di Indonesia, Jepara justru menghadirkan potret yang berbeda. Komunitas Syiah di kota yang dikenal sebagai Bumi Kartini ini tampil dengan wajah yang harmonis, resilien, dan berinteraksi produktif dengan masyarakat sekitarnya.
Hal ini terungkap dalam wawancara pada Selasa (19/08/2025), bertempat di Ponpes Darut Taqrib Jepara (DATA) antara Ustadz Muhammad Ali, Ketua Humas DPD ABI Jepara, dengan Dr. Ahmad Saefudin, penulis disertasi berjudul “Pendidikan Islam Kaum Minoritas: Identitas, Resiliensi dan Multikulturalisme Pesantren Syiah di Jepara”. Disertasi tersebut, yang kemudian dibukukan, merupakan bagian dari studi doktoralnya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Mengapa Syiah Jepara?
Menurut Dr. Saefudin, pilihan menjadikan Syiah di Jepara sebagai objek penelitian bukan tanpa alasan. “Di daerah lain dalam interaksi seringkali berujung konflik. Sementara di Jepara, yang terjadi justru harmoni dan ketahanan komunitas yang luar biasa,” jelasnya.
Ia menambahkan, penelitian terdahulu oleh Prof. Musin Jamil menyoroti faktor rekonfersi (kekerabatan) dan reproduksi (pernikahan antar komunitas) sebagai penyebab harmoni. Namun, risetnya menekankan aspek resiliensi komunitas Syiah Jepara melalui tiga dimensi:
- Social Bridging; aktivitas yang menjembatani Syiah dengan kelompok lain, seperti NU, Gusdurian, maupun lintas agama lewat diskusi, kemah kebangsaan, dan kegiatan kepemudaan.
- Social Linking; keterlibatan elite pesantren dalam struktur formal, seperti MUI dan FKUB, sehingga menjalin relasi vertikal dengan masyarakat luas.
- Social Bonding; penguatan internal di pesantren melalui pengajaran nilai-nilai perbandingan mazhab, saling menghormati, dan solidaritas komunitas.
ABI dan Harmoni Kebangsaan
Menjawab soal peran Ahlulbait Indonesia (ABI), Dr. Saefudin menegaskan bahwa ormas ini berkontribusi besar dalam membangun harmoni. Ia merujuk pada penelitian Chiara Formichi yang menyebut adanya dua wajah identitas dalam komunitas keagamaan, yaitu fixed identity (keyakinan teologis yang tidak berubah) dan fluid identity (identitas sosial yang cair dalam tradisi keagamaan).
“Dalam praktiknya, Sunni dan Syiah memiliki banyak titik temu, seperti tahlilan, maulid, tawasul, hingga tabaruk. Perbedaan teologis tidak menghalangi mereka untuk berjalan bersama,” terang Dr. Saefudin.
Ia menegaskan, baik IJABI maupun ABI sama-sama meneguhkan komitmen kebangsaan dengan menjunjung tinggi NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika. Bahkan, Manifesto ABI dipandang selaras dengan visi kebangsaan ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah.
Pesantren Syiah dan Masa Depan
Terkait masa depan komunitas Syiah di Jepara, Dr. Saefudin optimis. Ia menilai alumni pesantren Syiah, baik yang menimba ilmu di dalam negeri maupun di Qom (Iran), yang kelak akan memberi kontribusi lebih luas pada masyarakat Indonesia.
“ABI tidak bertumpu pada figur tunggal. Ia bergerak secara sistemik, membentuk banyak tokoh dan ulama yang bisa menjadi rujukan pemikiran nasional,” ujarnya.
Faktor lokal turut mendukung, sebab kultur Jepara yang terbuka serta tradisi pesantren yang multikultural memudahkan kaderisasi santri untuk terlibat di luar komunitasnya, bahkan di kampus-kampus NU atau organisasi lintas mazhab.
Visi Kebangsaan dan Politik Identitas
Menyinggung soal Manifesto ABI, Dr. Saefudin menegaskan bahwa visi kebangsaan hanya akan terjaga sejauh tidak ada pihak yang mengusung politik identitas. “Begitu identitas dipakai sebagai alat politik untuk memenangkan kelompok tertentu, maka kerukunan bangsa bisa runtuh. Inilah yang harus kita waspadai bersama,” katanya.
Sumbangsih Akademik
Sebagai penutup, Dr. Saefudin menyampaikan pentingnya melanjutkan penelitian pendidikan Islam multikultural agar lebih terstruktur dan terintegrasi dalam kurikulum pesantren.
“Bukan hanya integrasi dalam pelajaran, tapi harus ada ustadz khusus yang mengampu pendidikan multikultural. Ini masih jarang, baik di pesantren Syiah maupun di luar Syiah,” jelasnya.
Ia juga menemukan fakta menarik: dalam hal visi kebangsaan, pesantren Sunni dan Syiah di Jepara sama-sama merayakan Hari Santri Nasional dan menggelar upacara Hari Kemerdekaan.
Di akhir sesi wawancara, ia tersenyum mengenang pesan promotornya yang mengatakan; “Jadilah ahli di bidang Syiah, tanpa harus menjadi Syiah.”[]
Biografi Dr. Ahmad Saefudin
Ahmad Saefudin adalah dosen Universitas Islam Nahdlatul Ulama (UNISNU) Jepara, aktif di GP Ansor Kabupaten Jepara dan Jaringan Gusdurian. Ia meraih gelar doktor di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2025) dengan disertasi Pendidikan Islam Kaum Minoritas: Identitas, Resiliensi, dan Multikulturalisme Pesantren Syiah di Jepara (predikat Cumlaude).
Karya akademiknya meliputi buku: Pendidikan Multikultural di Pesantren Syiah (2021), Aneka Wajah Islam (2022), Tantangan Aswaja an-Nahdliyyah di Era Revolusi Industri 4.0 (2023), dan Studi ke-NU-an (2023). Selain itu, ia aktif menulis artikel di jurnal nasional, di antaranya tentang filsafat pendidikan, perilaku keagamaan perempuan, moderasi beragama dalam RPP PAI, serta transformasi pembelajaran berbasis literasi, numerasi, dan teknologi.
Ahmad Saefudin terdaftar di SINTA dengan ID 598****.
Baca juga : DPD ABI Pekalongan Gelar Market Day Memeriahkan HUT ke-80 RI

