Connect with us

Biografi

Imam Khomeini Terputus dari Makhluk, Terikat pada Allah

Imam Khomeini Terputus dari Makhluk, Terikat pada Allah

Di antara kepribadian Imam Khomeini adalah kuatnya keterikatan dan ketergantungan beliau pada Allah Swt. Beliau senantiasa menganjurkan orang lain untuk bersikap semacam itu. Imam Khomeini berpesan kepada anaknya, Sayyid Ahmad Khomeini, “Anakku! Berusahalah sekuat tenaga, agar hatimu terikat kuat kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa tak ada daya upaya melainkan seizin-Nya.”

Baca juga : Pandangan, Pemikiran, dan Wafat Imam Khomeini

Semasa mengajar di Hauzah Ilmiyah Qum, saat membuka pelajaran, beliau selalu membaca doa Sya’baniyah, doa yang biasa dibaca Imam Ali bin Abi Thalib as dan para imam lainnya. Petikan doa itu sebagai berikut:

“Ya Allah, karuniakanlah kepada kami keterputusan sempurna (total) dari segala sesuatu selain-Mu. Terangilah penglihatan hati kami dengan cahaya penglihatan-Mu, sehingga pengihatan hati kami dapat merobek tirai cahaya dan sampai ke sumber keagungan. Ya Ilahi, dengan hak Muhammad dan keluarga Muhammad, karuniakanlah kami keterputusan sempurna dari segala sesuatu selain-Mu.”

Baca juga : Imam Khomeini Hanya Menuju Allah

Di tahun terakhir usianya, Imam Khomeini amat mencintai cucunya, Sayyid Ali, putra Sayyid Ahmad. Dalam riwayat disebutkan bahwa apabila seseorang berada di ambang kematian dan Malaikat Izrail berada di sampingnya untuk mencabut nyawanya, sementara orang itu memiliki kecintaan kuat terhadap sesuatu, maka pada saat-saat genting tersebut, setan akan hadir di sisinya dan berusaha keras lewat perantaraan sesuatu yang dicintainya itu untuk menyelewengkannya ke dalam kekafiran dan kesesatan.

Demi menjaga agar jangan sampai dipengaruhi setan, pada hari-hari terakhir usianya, Imam Khomeini memisahkan diri dari Sayyid Ali. Beliau mengeluarkannya dari kamar beliau, sehingga hati dan perhatiannya hanya tertuju semata-mata kepada Allah, bukan kepada selain-Nya. Inilah makna nyata dari keterputusan sempurna dari selain Allah; terputus dari makhluk dan hanya terikat kepada Allah.

Muhammad Muhammadi, Cerita-Cerita Hikmah

Baca juga : Pemikiran Imam Khomenei

Biografi

Imam Khomeini, Bapak Revolusi Islam

Imam Khomeini, Bapak Revolusi Islam

Imam Khomeini, Bapak Revolusi Islam

Imam Khomeini adalah bapak bangsa dan manifestasi keramahan, kekuatan, dan keteguhan. Imam telah menghidupkan harga diri dan kekuatan bangsa ini. Hal ini disampaikan Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Ayatullah Sayyid Ali Khamenei dalam acara haul peringatan wafatnya Pemimpin Agung Revolusi Islam dan Pendiri Republik Islam, Imam Khomeini.

Dalam pembicaraannya, Rahbar menjelaskan bahwa bangsa Iran telah mengenalkan kepada bangsa-bangsa lain akan model sebuah negara dan bangsa yang maju dengan Islam dan tegar dalam melawan hegemoni kekuatan asing dan berhasil menggetarkan nyali adidaya dunia. Bangsa Iran akan terus melanjutkan langkahnya menuju puncak kejayaan. Tak diragukan bahwa masa depan bangsa-bangsa Muslim dan bangsa Iran akan lebih baik dari sebelumnya.

Baca juga : Biografi Singkat Imam Ali Ridha As

Semakin dalam akar kemuliaan itu pada diri seseorang atau komunitas, lanjut beliau, benteng itu akan semakin sulit ditembus. Sampai akhirnya manusia atau komunitas itu akan terbentengi dari gangguan musuh paling keji yaitu setan.

Pemimpin Besar Revolusi Islam menambahkan, “Imam Khomeini bukan hanya jelmaan dari harga diri dan kemuliaan tetapi beliau juga menghidupkan kemuliaan pada diri bangsa ini. Bangsa Iran belajar mengenal kehormatannya dari Imam Khomeini dan revolusi Islam. Dengan kehormatan itulah bangsa ini menyadari potensi dan kemampuannya. Bangsa ini sudah menyaksikan sendiri terlaksananya banyak janji Ilahi termasuk di antaranya kemenangan kaum tertindas atas kaum arogan.”

Khamenei.ir

Baca juga : Imam Khomeini Terputus dari Makhluk, Terikat pada Allah

Continue Reading

Biografi

Biografi Singkat Imam Ali Ridha As

Biografi Singkat Imam Ali Ridha As

Biografi Singkat Imam Ali Ridha As

Ali bin Musa bin Jafar as atau lebih dikenal dengan nama Imam Ridha as adalah Imam Kedelapan mazhab Syiah Itsna Asyariyah. Ia memegang tampuk kepemimpinan selama 20 tahun, yang mana 10 tahun sezaman dengan kekhalifahan Harun al-Rasyid, 5 tahun sezaman dengan kekhalifahan Muhammad Amin dan 5 tahun sezaman dengan kekhalifahan Ma’mun.

Diriwayatkan bahwa Imam Ridha as lahir pada hari Kamis atau Jumat 11 Dzulkaidah 148 H atau 153 H.  Kulaini mengutip bahwa tahun kelahiran Imam Ridha as jatuh pada tahun 148 H. [Kulaini, al-Kafi, jld. 1, hlm. 486] Mayoritas ulama dan sejarawan sependapat dengan Kulaini. [Amili, al-Hayat al-Siyasiyah li al-Imam al-Ridha as, hlm. 168] Tempat kelahirannya adalah kota Madinah kemudian dipanggil secara paksa oleh Makmun Abbasi ke Khurasan dan dijadikan sebagai wali ahd (putra mahkota) atas desakan Makmun Abbasi.

Baca juga : Hari Kelahiran Imam Ali Ridha

Syaikh Shaduq mencatat,  nama ibunda Imam Ridha as adalah Sakan Nubiyah, demikian juga dinamai dengan Arwi, Najmah, Samanah. Julukannya adalah Ummul Banin.[Shaduq, Uyun Akhbar al-Ridha, jld. 1, hlm. 16] Dalam riwayat disebutkan bahwa ibunda Imam Ridha as adalah seorang budak salehah dan bertakwa, bernama Najmah yang dibeli oleh Humaidah ibunda Imam Musa Kazhim dan menghadiahkannya kepada putranya (Imam Musa). Setelah kelahiran Imam Ridha, Najmah diberi nama Thahirah.[Shaduq, ‘Uyun Akhbār al-Ridha, jld. 2, hlm. 41]

Imam Ridha memiliki istri bernama Sabikah [Thabrisi, I’lam al-Wara bi A’lam al-Huda, jld. 2, hlm. 91, 1417 H] yang disebut masih memiliki tali keturunan dengan Mariah istri Rasulullah saw. [Al-Kulaini, al-Kāfi, jld. 1, hlm. 492] Selain Sabikah, dalam sebagian literatur sejarah, disebutkan juga beberapa istri lain Imam Ridha as. Makmun melamar Imam Ridha as untuk putrinya Ummu Habib atau Ummu Habibah dan Imam Ridha as menerima pinangan itu. Thabari menyebut pernikahan ini pada peristiwa-peristiwa tahun 202 H. [Thabari, al-Tārikh, jld. 7, hlm. 149] Disebutkan bahwa tujuan Makmun menikahkan putrinya dengan Imam Ridha as adalah untuk tambah dekat kepada Imam Ridha dan memiliki jalur ke rumahnya guna memperoleh informasi lebih jauh terkait dengan agenda-agenda Imam Ridha as. [Al-Qurasyi, Hayat al-Imam Ali bin Musa al-Ridha as, jld. 2, hlm. 408] Suyuthi juga mengutip pernikahan putri Makmun dengan Imam Ridha as tanpa menyebutkan nama putri Makmun itu. [Suyuthi, Tarikh al-Khulafa, hlm. 226]

Terdapat perbedaan pendapat terkait dengan jumlah dan nama anak-anak Imam Ridha as. Syaikh Mufid hanya mengakui Muhammad bin Ali sebagai anak dari Imam Ridha as. [Syaikh Mufid, al-Irsyad, jld. 2, hlm.271]

Baca juga : Membaca Peninggalan Imam Ja’far

Keimamahan

Imam Ridha as memegang keimamahan paska kesyahidan ayahnya Imam Kazhim as pada tahun 183 H. Masa imamahnya berlangsung selama 20 tahun (183-203 H) yang bertepatan dengan masa khilafah Harun al-Rasyid (10 tahun), Muhammad Amin (sekitar 5 tahun) dan Makmun (5 tahun).

Sebagian orang yang mengutip hadis-hadis dari Imam Musa bin Ja’far as atas imamah putranya Ali bin Musa al-Ridha adalah: Daud bin Katsir al-Riqqi, Muhammad bin Ishaq bin Ammar, Ali bin Yaqthin, Na’im al-Qabusi, al-Husain bin al-Mukhtar, Ziyad bin Marwan, al-Makhzumi, Daud bin Sulaiman, Nashr bin Qabus, Daud bin Zarbi, Yazid bin Sillith dan Muhammad bin Sanan. [Syaikh Mufid, jld. 2, hlm. 248]

Di samping banyak dalil riwayat, akseptabilitas Imam Ridha as di kalangan Syiah dan keunggulan ilmu dan akhlaknya menetapkan bahwa imamah layak untuk disandang olehnya meski masalah imamah pada akhir-akhir hidup Imam Musa bin Jafar cukup pelik dan sulit, namun kebanyakan sahabat Imam Kazhim as menerima bahwa Imam Ridha as adalah pelanjut dan khalifah mereka yang ditunjuk dari sisi Imam Musa Kazhim as. [Ja’fariyan, hlm. 427] Namun kelompok pengikut lainnya dari Imam ketujuh karena dengan alasan-alasan tertentu, enggan untuk mengakui keimamahan Imam Ali al-Ridha as dan mereka berhenti pada keimamah Musa Kazhim as. Mereka menyatakan bahwa Musa as adalah Imam terakhir dan beliau tidak menentukan keimamahan siapa pun setelahnya. Kelompok  sempalan menyimpang ini disebut dengan nama Waqifiyah (atau Waqifah).

Baca juga : Berjuang di Jalan Islam

Imam Ridha kurang lebih selama sekitar tujuh belas tahun (183-200 H) dari periode keimamahannya berada di Madinah dan memiliki posisi yang istimewa di kalangan masyarakat. Imam sendiri dalam percakapan dengan Ma’mun mengenai putra mahkota, menggambarkan periode ini dengan berkata:

“Sesungguhnya, perjanjian putra mahkota itu tidak memberikan kepadaku poin atau status apa pun. Ketika aku berada di Madinah, perintahku dapat mempengaruhi mereka yang di timur dan barat, dan ketika aku menaiki kendaraanku melewati gang-gang Madinah, tidak ada yang lebih mulia dariku”. [Kulaini, al-Kafi, jld.8, hlm.151]

Mengenai posisi ilmiah Imam di Madinah juga dikutip dari dirinya sendiri:

“Aku duduk di masjid Nabi dan para ulama yang berada di Madinah, setiap kali mereka tidak mampu memecahkan suatu permasalahan, semua melemparkan masalah itu kepadaku dan mengirimkan pertanyaan dan masalah mereka kepadaku dan aku menjawab semua permasalahan itu kepada mereka”. [Thabrisi, I’lam al-Wara Bi A’lam al-Huda, jld.2, hlm.64]

Disebutkan bahwa hijrah Imam Ridha as dari Madinah ke Marv terjadi pada tahun 200 H

Dalam Tārikh Ya’qubi dimuat bahwa Makmun membawa Imam Ridha as dari Madinah ke Khurasan. Orang yang ditugasi untuk mengantar Imam Ridha as dari Madinah ke Khurasan adalah Raja bin Abi Dhahak kerabat Fadhl bin Sahal. Mereka membawa Imam Ridha as melalui Basrah hingga sampai di Marv. [Ya’qubi, jld. 2, hlm. 465, 1378 S] Jalur yang dipilih oleh Makmun untuk ditempuh oleh Imam Ridha as sampai di Marv adalah jalur yang telah ditentukan supaya Imam Ridha tidak melewati perkampungan Syiah, sebab ia takut dari perkumpulan orang-orang Syiah di sekitar Imam. Makmun memerintahkan supaya Imam Ridha tidak dibawa melalui Kufah dan harus lewat Basrah, Khuzistan, Fars hingga Neisyabur. [Muthahari, Majmue-e Atsar Ustad Syahid Muthahhari, jld. 18, hlm. 124]

Baca juga : Kisah Hikmah Nabi Isa Bin Maryam a.s. Part I

Jalur yang dilalui oleh Imam Ridha as sesuai dengan buku Athlas Syiah adalah sebagai berikut: Madinah, Naqrah, Husjah, Nabbaj, Hafr Abu Musa, Basrah, Ahwaz, Behbahan, Isthakhar, Abrquh, Dahsyir (Farasyah), Yazd, Kharaniq, Ribath Pusytibam, Neisyabur, Qadamgah, Dahsurkh, Thus, Sarkhus, Marv. [ Ja’fariyan, hlm. 95] Menurut Syaikh Mufid, para tentara Makmun membawa Imam Ridha as dan beberapa dari bani Hasyim ke Marv melalui jalur Basrah. Makmun menempatkan bani Hasyim di satu rumah dan Imam Ridha di rumah yang lain dan menghormatinya.[Syaikh Mufid, al-Irsyad, jld. 2, hlm. 259]

Setelah Imam Ridha as berdiam di Marv, Makmun mengutus seseorang ke kediaman Imam Ridha as dan menyampaikan bahwa dirinya ingin lengser dari khilafah dan menyerahkan urusan khilafah ini kepada Imam Ridha. Imam dengan tegas menolak usulan Makmun seraya berkata, “Jika pemerintahan merupakan hakmu, Anda tidak bisa memberikannya kepada orang lain, dan jika pemerintahan itu bukan hakmu, maka Anda tidak berhak memberikannya”.[Bihar al-Anwar, jld. 49, hlm. 129] Para peneliti meyakini bahwa jawaban Imam tersebut telah meruntuhkan dan mempermasalahkan dasar legalitas kekhilafahan Makmun.[Dirakhsyah, Husaini Faiq, Sirah Siyasi Imam Ridha dar Barkhurd ba Hukumati Jaur (Sikap politis Imam Ridha as dalam menghadapi pemerintah zalim), hlm. 21]Sayid Ja’far Murtadha Amili meyakini bahwa pada dasarnya Makmun tidak serius dalam menawarkan khilafah kepada Imam Ridha as. Ia melontarkan pembahasan panjang dan pada akhirnya mengambil kesimpulan bahwa tawaran Makmun adalah sebuah upaya untuk mengukuhkan pemerintahan dan khilafahnya.[Amili, al-Hayat al-Siyasiyah li al-Imam al-Ridha as, hlm. 286]

Makmun terus memaksa Imam Musa, sampai akhirnya Imam merima dengan persyaratan. Imam berkata “Aku menerima tawaranmu, dengan syarat aku tidak memerintah dan tidak pula melarang, aku tidak mengeluarkan fatwa dan tidak pula menjadi hakim, aku tidak mengangkat seseorang dan tidak pula memecatnya, dan aku tidak akan merubah sesuatu dari posisi aslinya.” Makmun menerima semua syarat yang diajukan oleh Imam Ridha as. [Syaikh Mufid, al-Irsyad, jld. 2, hlm. 259]

Makmun mengadakan beberapa forum ilmiah dengan menghadirkan ulama dari beberapa mazhab dan agama. Dalam beberapa pertemuan ini, berlangsung perdebatan antara Imam Ridha as dan ulama lainnya yang secara umum berkisar tentang masalah-masalah ideologi dan fikih. Sebagian dari debat ini disebutkan oleh Thabrisi dalam al-Ihtijāj. [Ja’fariyan, hlm. 442] Sebagian dari debat (atau ihtijajāj) adalah: [al-Tabarsi, jld. 2, 1403 H, hlm. 396] Makmun dengan menyeret Imam Ridha as dalam acara debat bermaksud ingin menjatuhkan kredibiltas dan menghilangkan gambaran masyarakat tentang para imam Ahlulbait sebagai pemilik ilmu khusus misalnya ilmu ladunni.

Baca juga : Perang Khaibar

Syahadah

Dinukilkan bahwa kesyahidan Imam Ridha as terjadi pada hari Jumat atau hari Senin akhir bulan Shafar, atau 17 Shafar, Kulaini menyebutkan wafatnya Imam Ridha as terjadi pada bulan Shafar tahun 203 H pada umur ke 55 tahun.[Kulaini, al-Kafi, jld. 1, hlm. 486]

Ibnu Hibban salah seorang ahli hadis dan rijal abad ke-4 H, di bawah nama Ali bin Musa al-Ridha, menulis, “Ali bin Musa al-Ridha wafat lantaran racun yang diberikan Makmun. Peristiwa ini terjadi pada hari Sabtu tahun 203 H.” [Ibnu Hibban, al-Tsiaqat, jld. 8, hlm. 456-457, 1402] Syaikh Mufid menukilkan, Makmun menyuruh Abdullah bin Basyir untuk tidak memotong kukunya sehingga lebih panjang batas normal, kemudian ia diberikan sesuatu serupa asam India supaya dibuat seperti adaonan dengan tangannya. Kemudian Makmun pergi ke hadapan Imam Ridha as dan memanggil Abdullah lalu memintanya untuk mengambilkan air delima dengan tangannya lalu disajikan untuk Imam Ridha as. Dan hal inilah yang menjadi penyebab wafatnya Imam Ridha as setelah dua hari berselang. [Syaikh Mufid, al-Irsyad,jld. 2, hlm. 270]

Mengenai sebab dibunuhnya Imam Ridha as oleh Makmun terdapat beberapa alsan yang disebutkan, diantaranya: kemenangan Imam Ridha as atas berbagai ulama dalam pelbagai majelis debat. [Ja’fariyan, Hayati Fikri wa Siyasi Imamane Syiah, hlm. 443, 1376 S], sambutan hangat masyarakat atas kedatangan Imam Ridha pada acara pelaksanaan salat Id, membuat Makmun merasa terancam dan ia sadar bahwa pemeberian wilayat ahdi kepada Imam telah membuat keadaan semakin sulit untuknya. Oleh karena itu, ia memasang mata-mata untuk mengawasi gerak-gerik Imam Ridha as jangan sampai menyusun agenda untuk melawan Makmun. [Ja’fariyan, Hayati Fikri wa Siyasi Imamane Syiah, hlm. 444]

Imam Ridha as sama sekali tidak takut kepada Makmun dan acapkali jawaban-jawaban yang diberikan Imam Ridha as membuat Makmun gundah dan sedih. Kondisi ini telah membuat Makmun murka dan semakin besar kusumatnya kepada Imam Ridha meski tidak ditampakkan. [60]Diriwayatkan bahwa tatkala Makmun bergembira pada salah satu penaklukan militernya, Imam Ridha as berkata kepadanya, “Wahai Amiral Mukminin! Takutlah kepada Allah akan umat Muhammad saw dan apa yang diamanahkan Allah swt kepadamu. Engkau telah menyia-nyiakan urusan kaum Muslimin…” [Al-‘Athardi, Musnad al-Imam al-Ridha as, jld. 1, hlm. 84-85, 1413 H]

Setelah syahidnya Imam Ridha as, Makmun mengebumikannya di rumah Hamid bin Qahthabah Thai (Buq’ah Haruniyah) di desa Sanabad. [Syaikh Mufid, al-Irsyad, hlm. 464]  Dewasa ini Haram Radhawi terletak di Iran dan tepatnya di kota Masyhad Muqaddas. Dan, setiap tahunnya dikunjungi banyak peziarah dari berbagai negara. [Dakhil, Aimmatuna; Sirah al-Aimmah al-Itsna Asyar, jdl.2, hlm. 76-77]

Source: wikishia

Baca juga : Biografi Singkat Sayidah Fatimah az-Zahra sa

Continue Reading

Biografi

Pandangan, Pemikiran, dan Wafat Imam Khomeini

Pandangan, Pemikiran, dan Wafat Imam Khomeini

Pandangan, Pemikiran, dan Wafat Imam Khomeini

Tanggal 3 juni 1989 tercatat sebagai salah satu hari paling kelabu di dunia. Pada hari itu, pemimpin besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Ruhullah Khomeini memenuhi panggilan Tuhannya dengan tenang. Jutaan rakyat Iran mengantarkan ke tempat peristirahatannya terakhir di dekat pemakaman Behesyte Zahra, selatan Teheran.

Sementara itu, puluhan juta pecintanya di seluruh dunia berkabung dan menangisi kepergiannya.

Baca juga : Imam Khomeini Terputus dari Makhluk, Terikat pada Allah

Adalah pasti bahwa Imam Khomeini adalah seorang pemikir agung. Gagasan-gagasan beliau tidak sekadar untuk masyarakat Iran atau Syiah saja, namun mendapat sambutan luas biasa di seluruh kalangan umat Islam, bahkan orang-orang non-Islam.

Imam Khomeini adalah figur muslim sejati. Baginya, Islam adalah segala-galanya. Untuk itu, beliau rela berkorban demi kejayaan Islam. Jika sedikit saja Islam diganggu, beliau akan marah dan membelanya mati-matian. Imam Khomeini percaya bahwa Islam adalah satu-satunya yang dapat menyelamatkan kehidupan umat manusia dari keterbelakangan dan kehancuran.

Tim ICC, Imam Khomeini; Pandangan Hidup dan Perjuangan

Baca juga : Imam Khomeini Hanya Menuju Allah

Continue Reading

Trending