Opini
Bel Virtual: Dua Belas Hari, Serangan Hibrida, dan Kekalahan Para Pewaris Machuca
Oleh: Muhlisin Turkan
Sejak era Machuca, simbol kekejaman kolonial Spanyol di benua Amerika sejak akhir abad ke-15 hingga abad ke-19, dan lewat pasukan pelacaknya, Barat memandang perang layaknya perburuan terhadap yang ‘liar’.
Ahlubait Indonesia — Dua belas hari, sejak 13 hingga 24 Juni 2025, satu minggu dan empat hari. Waktu yang singkat secara taktis, namun sarat implikasi strategis. Dalam rentang itulah, sebuah konflik yang oleh Barat dikategorikan sebagai “perang kecil” justru mengguncang fondasi teori superioritas militer modern. Dominasi teknologi, doktrin keunggulan mutlak, dan mitos kekuatan tak tertandingi, semuanya runtuh dalam hitungan hari.
Perang ini bukan sekadar konfrontasi senjata. Ini adalah benturan antara nalar yang merdeka dan kecanggihan tanpa arah. Di satu sisi, sistem berbasis algoritma, drone bersenjata, dan propaganda digital yang dirancang di ruang steril Silicon Valley. Di sisi lain, keberanian, ketahanan jaringan lokal, dan kecerdasan manusia yang tidak dapat diretas oleh kekuatan luar.
Ironinya, Barat selama ini menyematkan istilah seperti “gerilya” atau “konflik terbatas” kepada perang yang tak mereka dominasi. Kini, ketika menghadapi strategi asimetris yang mereka remehkan, mereka kehilangan inisiatif dan kontrol. Ini bukan sekadar kekalahan, ini disorientasi total.
Baca: Gencatan Versi Trump: Deklarasi Tanpa Delegasi
Sejak era kolonial, militer Barat memandang lawannya seperti objek buruan. Manual operasi mereka mengasumsikan supremasi moral dan teknis. Namun mereka gagal membayangkan bahwa pihak yang mereka anggap primitif dapat membaca ulang strategi mereka, menyusunnya ulang, lalu menggunakannya secara efektif untuk menang, dalam waktu singkat, dua belas hari.
Tidak ada sistem pengintaian yang dapat membaca tekad. Tidak ada senjata presisi yang dapat membidik identitas budaya. Dan tidak ada kecerdasan buatan yang mampu memahami satu kekuatan fundamental, yaitu Iman.
Apa yang mereka sebut “perang kecil” sesungguhnya adalah perang rakyat. Bukan sekadar konflik bersenjata, tapi ekspresi perlawanan terhadap dominasi yang didorong oleh kesadaran sejarah, kehormatan kolektif, dan hak untuk hidup sebagai bangsa yang merdeka.
Namun rezim Zionis dan media afiliasinya kembali terjebak dalam asumsi lama, bahwa penguasaan informasi digital berarti kendali atas persepsi publik. Ini kesalahan strategis. Algoritma pencarian tidak mampu menafsirkan keberanian warga sipil yang berdiri tegak di bawah serangan, namun tetap memilih melawan.
Baca: Setelah Bom, Drone, dan Kapal Induk Gagal Menundukkan ‘Sandal Jepit’ Yaman
Selama dua belas hari itu, pertempuran berlangsung simultan, di darat dan di ruang siber. Ketika serangan militer tidak cukup, Barat mengaktifkan fase kedua, perang narasi. BBC, Voice of America, Reuters dan jaringan lainnya menyebar satu skrip untuk memisahkan rakyat dari pemerintah, mengaburkan realitas lapangan, dan menciptakan persepsi kekacauan.
Mereka berharap bisa mengubah lonceng digital menjadi tanda berakhirnya revolusi. Namun yang terjadi sebaliknya, rakyat justru membunyikan bel kemenangan dan tegas menolak ditundukkan oleh lensa CNN atau framing Silicon Valley.
Sementara itu, doktrin keunggulan teknologi yang selama ini menjadi fondasi militer Barat, jutru terbukti cacat struktural. Tumbang bukan karena kelemahan teknis, tapi karena kesombongan. Sebaliknya, prinsip bahwa intelijen, keberanian, dan nilai moral dapat melampaui kendali senjata digital kini mengemuka sebagai paradigma baru.
Dua belas hari itu, Iran menciptakan bukan hanya sejarah baru, melainkan juga koreksi besar terhadap narasi lama, bahwa kekuatan semata-mata ditentukan oleh anggaran militer dan kapasitas destruktif. Kini, Kini, jari yang terbiasa meluncurkan rudal justru gemetar, kehilangan tujuan, bukan karena peluru habis, tapi karena makna yang telah hilang.
Sudah waktunya Barat berhenti menyebut kekalahan mereka sebagai “perang yang belum selesai”. Bukan karena mereka belum menang, tapi karena sejak awal mereka tidak pernah memahami siapa yang mereka hadapi. Dalam kamus perlawanan, satu istilah tak pernah tergantikan, yaitu kemenangan moral.
Di tengah dunia yang dikuasai platform digital dan sensor algoritmik, kemenangan tidak lagi diukur dari kontrol teritorial. Kemenangan kini ditentukan oleh siapa yang mampu bertahan dalam medan kebenaran, dan menyuarakannya. Dalam dua belas hari, rakyat Iran telah melakukannya, diam namun tegas, terkepung namun tidak tunduk, dan tak satu pun algoritma mampu membungkamnya.
Bel virtual akhirnya berbunyi. Tapi bukan sebagai tanda kekalahan. Ini menandai lahirnya sebuah era baru di mana kekuatan tidak lagi ditentukan oleh misil, tetapi oleh keberanian menyatakan yang benar sebagai benar, meski seluruh dunia mencoba membungkamnya. []
Baca:Bukan Genosida yang Mengusik Tidur Donald Trump, Tapi Laporan Francesca Albanese
