Ikuti Kami Di Medsos

Opini

Dua Pikiran di Meja Makan Trump

Dua Pikiran di Meja Makan Trump
Credit foto: Reuters

Oleh: Muhlisin Turkan

Ketika Perdamaian Menjadi Komoditas Dagang

Ahlulbait Indonesia — Rencana Donald Trump untuk “mengakhiri perang” di Gaza adalah mahakarya klasik diplomasi gaya Washington: megah dalam retorika, kosong dalam substansi. Seperti banyak proyek Trump sebelumnya, rencana ini memadukan narsisme pribadi, kepentingan bisnis politik, dan kebohongan diplomatik dalam satu kemasan berlabel perdamaian.

Trump menyebutnya “rencana 20 butir untuk mengakhiri perang”. Namun, bagi siapa pun yang membaca dengan akal sehat, ini lebih mirip manual pengelolaan konflik permanen, di mana Israel menjadi operator dan Palestina, laboratorium ujinya.

Baik Israel maupun Hamas menyambutnya dengan “dua pikiran”: satu untuk publikasi pers, satu lagi untuk kenyataan di lapangan. Keduanya tahu bahwa perdamaian versi Trump adalah versi bisnis, di mana darah diganti dengan kontrak, dan penindasan disamarkan sebagai proyek rekonstruksi.

Pikiran Pihak Palestina: Menerima untuk Mengelola, Bukan Mempercayai

Hamas pada Jumat (5/10/2025) menyatakan kesediaannya menerima sebagian poin dalam rencana 20 butir Presiden Amerika Serikat Donald Trump, termasuk kesepakatan pertukaran sandera. Namun, kelompok itu secara cermat menghindari dua jebakan utama: perlucutan senjata dan penarikan bertahap pasukan Israel. Dua pasal yang ditulis dengan tinta kolonial namun dibungkus kertas diplomasi.

Trump, dalam gaya khasnya, segera menulis di Truth Social:

“Pernyataan Hamas menunjukkan mereka siap untuk PERDAMAIAN yang langgeng. Israel harus segera menghentikan pemboman Gaza agar kita bisa mengeluarkan para sandera dengan aman dan cepat.”

Bagi Hamas, cuitan itu hanyalah propaganda kampanye yang kebetulan memakai nama Gaza. Rencana ini memang berbicara tentang akhir perang, penarikan pasukan, dan rekonstruksi, namun di balik setiap kata kerja diplomatik itu tersembunyi kata benda politik yaitu dominasi.

Setelah dua tahun pemboman brutal dan pengepungan yang mengubah Gaza menjadi museum penderitaan modern, Hamas memahami permainan ini. Hamas menerima rencana itu bukan karena percaya, tapi karena tahu bagaimana memanfaatkan waktu yang terselip di antara pasalnya.

Hamas membaca rencana itu sebagai teka-teki, yakni siapa yang akan lebih dulu mengkhianatinya, Israel atau Amerika? Dan di situlah strategi mereka dimulai.

Bagi Hamas, setiap gencatan atau rencana damai hanyalah babak dalam strategi panjang Muqawamah, perang politik yang tidak mengenal gencatan, hanya pergantian bentuk.

Baca juga : Memento Mori: Refleksi Organisasi

Pikiran Pihak Israel: Menyelamatkan Netanyahu dan Membungkus Kekalahan

Bagi Tel Aviv, rencana Trump datang seperti oksigen bagi rezim yang sedang sekarat secara moral dan politik. Dua tahun perang tanpa hasil, tekanan publik yang meningkat, dan kebuntuan di Gaza telah mengubah Netanyahu dari “Bapak Keamanan” menjadi simbol disfungsi politik.

Rencana Trump memberinya peluang: bukan untuk menang, tetapi untuk menunda kekalahan. Ini menciptakan kesan diplomatik, seperti panggung opera dengan dekorasi megah tapi orkestra yang fals. Israel kini bisa berdiri di podium dan berkata “kami mengejar perdamaian”, sambil tetap menembakkan peluru di perbatasan Rafah.

Rencana itu juga menyediakan ruang impunitas yang luas: tak ada sanksi, tak ada mekanisme akuntabilitas, dan setiap pasal bisa ditafsirkan sesuai kebutuhan politik domestik. Dengan kata lain, perdamaian versi Trump adalah cermin yang memantulkan wajah Israel tanpa noda, bahkan ketika darah masih menetes di bawahnya.

Trump dan Meta-Rencana: Perdamaian sebagai Pertunjukan

Donald Trump tidak menulis kebijakan luar negeri; ia memproduksi reality show. Rencana Perdamaian Gaza hanyalah episode terbaru dari serial panjang yang disebut “Amerika sebagai Penyelamat Dunia”.

Tujuannya sederhana:
1. Menjual citra sebagai mediator, padahal ia adalah pemegang saham utama dalam industri perang.

2. Menyatukan kembali poros Barat–Arab, yang mulai retak oleh opini publik global yang muak melihat anak-anak Palestina dibunuh di depan kamera.

3. Mengalihkan sorotan media dari kegagalan Washington di Ukraina dengan memberi headline baru: “Trump Mendamaikan Timur Tengah”.

Rencana ini bukan perjanjian perdamaian, tapi brosur kampanye global. Ia dijual kepada dunia seperti produk perawatan luka, sementara luka itu terus dibuat setiap hari.

Dokumen ini menandai upaya Trump memasarkan dirinya sebagai mediator, bukan sebagai arsitek dari kekacauan yang ia sponsori.

Perdamaian yang Dijual, Bukan Diciptakan

Baik Hamas maupun Israel sadar bahwa rencana ini tidak ditulis untuk dijalankan. Keduanya memanfaatkannya sebagai alat tawar: Hamas untuk menunda dominasi, Israel untuk menunda kehancuran, dan Trump untuk menunda ketidakrelevansi politiknya.

Di dunia di mana perang dipromosikan sebagai peluang investasi dan genosida disponsori atas nama stabilitas, “rencana perdamaian” hanyalah label baru di botol lama, dan Trump, seperti biasa, adalah penjual terbaiknya.

Pada akhirnya, ini bukan tentang siapa yang ingin damai, tapi siapa yang lebih pandai menjual perang sebagai damai.

Rencana ini adalah dokumen tentang kemunafikan yang dipoles dengan bahasa diplomasi, diterima karena semua pihak tahu untuk tidak akan dijalankan, dan disambut karena semua sadar ini hanya pertunjukan.

Begitulah nasib Gaza di meja Trump, bukan sebagai subjek perdamaian, melainkan barang dagangan dalam lelang politik global.[]

Baca juga : Amerika Mengambil Alih TikTok: Sensor, Simbol, dan Kolonialisme Digital Baru