Opini
Membungkam Asyura, Membungkam Palestina
Oleh: Billy Joe
Ahlulbait Indonesia — Hujan deras mengguyur Jakarta Timur, Minggu siang itu (6/7). Langit mendung menekuk bumi dengan beban pilu, seolah ikut meratapi duka yang tak pernah usai sejak 10 Muharram tahun 61 Hijriah. Namun di bawah guyuran hujan yang tak kunjung reda, ribuan orang berdiri teguh. Mereka datang dari berbagai penjuru Jabodetabek, mengabaikan rasa lelah, becek, dan dingin demi satu hal: mengenang pengorbanan Imam Husain bin Ali as., cucu Rasulullah, yang dibantai di Karbala demi menolak tunduk kepada kekuasaan zalim.
Ini bukan sekadar perayaan agama. Ini adalah pernyataan ideologis, sebuah deklarasi terbuka bahwa kita tidak akan diam di hadapan kebatilan. Dan bagi mereka yang memahami denyut zaman, mereka tahu: Karbala hari ini bernama Gaza. Maka ketika Asyura diselenggarakan di Jakarta, Semarang, Pasuruan, atau kota-kota lain di Indonesia, ia tidak hanya menjadi ruang duka, tapi juga menjadi mimbar pembelaan terhadap Palestina.
Namun yang memedihkan adalah ini: di tengah gemuruh “Labbaik ya Husain!”, masih ada suara-suara sumbang yang menentang peringatan Asyura. Mereka menuding ini sebagai ritual asing, menyebarkan ketakutan palsu, bahkan secara terang-terangan menuntut pelarangan. Mereka tak sadar—atau justru sangat sadar—bahwa yang mereka hentikan bukan sekadar peringatan keagamaan, tetapi juga salah satu corong terkuat pembelaan terhadap Palestina yang tersisa di ruang publik Indonesia.
Karbala Tak Pernah Usai
Imam Husain berdiri bukan karena gila kekuasaan. Ia tidak membawa pasukan besar, tidak membangun koalisi politik. Yang beliau bawa hanyalah keluarga, anak-anak, dan para sahabat setia. Ia tahu dirinya akan terbunuh. Tapi ia juga tahu: diam terhadap kezaliman adalah pengkhianatan terhadap Islam itu sendiri. Dalam perjalanannya dari Madinah ke Karbala, Imam Husain menyuarakan satu pesan berulang-ulang: “Aku tidak bangkit karena ambisi, tetapi untuk menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar.”
Bukankah inilah yang juga sedang diperjuangkan rakyat Palestina hari ini?
Apakah ketika seorang ibu di Rafah kehilangan seluruh anaknya karena rudal zionis, itu bukan bentuk kebatilan yang harus ditentang? Apakah ketika rumah sakit dibom, kamp pengungsian dihancurkan, wartawan dibunuh, dan masjid-masjid dibuldoser, kita masih berani mengatakan bahwa ini bukan persoalan moral umat?
Maka, Asyura hari ini bukan hanya milik Syiah. Ia adalah milik siapa pun yang mengaku dirinya manusia. Dan siapa pun yang memahami nilai perjuangan Husain akan tahu bahwa perlawanan terhadap zionis Israel adalah perpanjangan dari perlawanan Husain terhadap Yazid.
Menolak Asyura = Membungkam Palestina
Mari kita berbicara jujur.
Apa yang sebenarnya terjadi ketika Asyura dilarang, dibatasi, atau dicurigai? Yang dibungkam bukan hanya ziarah, bukan hanya pembacaan maktal. Yang dibungkam di Asyura adalah pesan moral universal yang menyulut kesadaran umat untuk melawan tirani, menolak penjajahan, dan membela kaum tertindas.
Dan siapa yang diuntungkan jika umat Islam tidak lagi peduli pada Palestina? Siapa yang senang jika suara pembelaan terhadap Gaza diredam? Bukan rakyat Indonesia. Bukan umat Islam. Jawabannya jelas: zionis Israel.
Menolak peringatan Asyura di tengah kesadaran umat yang sedang membuncah terhadap Palestina, sama saja dengan memotong urat nadi solidaritas. Bahkan bisa disebut sebagai bentuk kolaborasi—baik sadar atau tidak—dengan narasi penjajah Israel. Karena penjajah tidak hanya membunuh dengan senjata. Mereka juga membunuh dengan membungkam suara-suara perlawanan.
Ironisnya, sebagian yang menolak Asyura justru mengaku pendukung Palestina. Mereka berteriak soal pembebasan Al-Aqsha, tetapi menolak majelis yang dari mimbar-mimbarnya justru menyerukan hal yang sama. Mereka mencaci zionis, tapi menolak Husain yang sepanjang hidupnya melawan kezaliman.
Baca juga : Karbala Tak Pernah Usai: Kini Bernama Gaza
Ini bukan hanya keliru. Ini absurd. Ini menyedihkan.
Mazhab Boleh Berbeda, Tapi Kezaliman Musuh Kita Bersama
Sebagian orang beralasan bahwa penolakan terhadap Asyura dilandasi kekhawatiran akan perbedaan mazhab. Mereka menyebut ritual ini sebagai syiar Syiah, dan menganggapnya asing bagi mayoritas umat Islam di Indonesia. Tapi apakah kezaliman bertanya soal mazhab sebelum membunuh?
Apakah rudal-rudal Israel di Gaza membedakan antara Syiah dan Sunni? Apakah penjajahan membutuhkan klasifikasi fiqih sebelum menghancurkan rumah dan membakar anak-anak hidup-hidup?
Tidak! Kezaliman hanya mengenal satu hal: siapa yang berani menolak, dan siapa yang tunduk.
Imam Husain telah menunjukkan pilihan yang benar. Dan umat Islam Indonesia, dari berbagai mazhab dan latar belakang, semestinya mampu merangkul nilai-nilai Husaini ini sebagai perekat perjuangan, bukan sebagai sumber perpecahan.
Maka ketika peringatan Asyura dijadikan panggung untuk menyerukan “Bebaskan Palestina!”, “Tolak penjajah!”, “Hidupkan semangat Husain!”, tidakkah ini justru menjadi bukti bahwa Asyura adalah kekuatan moral yang sangat kita butuhkan hari ini?
Tidak Semua Tahu, Tapi Sebagian Sangat Tahu
Tentu, kita tidak sedang menuduh bahwa semua orang yang menolak Asyura berniat membungkam Palestina. Ada yang tidak tahu. Ada yang sekadar ikut arus. Ada yang terbentuk oleh narasi sektarian bertahun-tahun. Tetapi, kita juga tidak bisa menutup mata bahwa ada pula yang tahu persis apa yang mereka lakukan.
Mereka tahu bahwa ketika umat Islam mulai menyadari bahwa Husain adalah simbol perlawanan universal, maka umat akan mulai bangkit dengan kesadaran ideologis yang berbahaya bagi para penjajah. Mereka tahu bahwa jika semangat Karbala menyalakan kesadaran di Gaza, di Teheran, di Beirut, di Jakarta, maka akan semakin sulit untuk mengendalikan opini umat. Dan karena itu, mereka mencoba membungkamnya dengan alasan “ajaran sesat”, “stabilitas”, atau “tradisi lokal.”
Tapi kita tahu dengan baik.
Asyura bukan ancaman bagi bangsa ini. Yang menjadi ancaman adalah mereka yang ingin mematikan suara perlawanan dengan membungkam memori sejarah. Dan di tengah dunia yang penuh kebisuan ini, justru kita membutuhkan lebih banyak suara “Labbaik ya Husain!” agar tidak terjebak menjadi umat yang diam ketika kezaliman berpesta.
Penutup: Pilihannya Tetap Sama
Karbala mengajarkan kita bahwa di hadapan kebatilan, tak ada jalan tengah. Kata Imam Husain, “Orang seperti aku tidak akan membaiat orang seperti dia (Yazid).” Itu bukan retorika. Itu prinsip. Dan prinsip itu kini menuntut kita memilih.
Apakah kita akan berdiri bersama suara yang menangisi Gaza dan menolak tunduk pada penjajah?
Atau justru menjadi bagian dari mereka yang—dengan diam atau dengan larangan—telah ikut membungkam suara-suara kebenaran?
Kita boleh berbeda dalam fikih, berbeda dalam sejarah, berbeda dalam madzhab. Tapi jangan sampai kita berbeda dalam hal yang paling mendasar: melawan kezaliman
Dan hari ini, membiarkan peringatan Asyura dilarang, sama saja dengan membiarkan Palestina dikhianati. Diam di hadapan larangan Asyura, artinya mengiyakan kejahatan yang dilakukan oleh mereka yang membungkam suara Gaza.
Karena seperti kata Ustadz Abdillah Baabud di Pasuruan:
“Selama dunia ini masih ada Firaun, Namrud, Yazid dan antek-anteknya, maka Karbala akan terus hidup. Tapi akan selalu ada orang-orang yang siap berkata tidak, seperti Husain.”[]
Baca juga : “Ngaji Akidah” Tapi Gagal Baca Realita
