Pelajaran Cinta dan Benci
Cinta dan benci merupakan dua hal yang saling berlawanan. Cinta menggambarkan penerimaan, kesepakatan, kerinduan, rasa ingin menyatu, memiliki, mengikuti dan bahkan berkorban bagi seseorang terhadap sesuatu yang dia cintai. Sedangkan benci kebalikannya, menggambarkan penolakan, ketidaksukaan yang sangat, dan rasa jijik serta ingin menjauhi terhadap sesuatu yang dia benci. Mungkinkah pada diri seseorang timbul cinta dan benci pada obyek yang sama?
Hal ini tentu tidak mungkin terjadi karena cinta berlawanan dengan benci, dan tentu hukum logika menafikan premis bergabungnya cinta dan benci dari satu subyek (individu) terhadap obyek yang sama, karena ketika seseorang cinta terhadap sesuatu mustahil dia membenci sesuatu yang dia cintai tersebut dan hukum ini juga berlaku sebaliknya. Ini sesuatu yang sangat jelas.
Dengan demikian, dalam diri seseorang tidaklah mungkin timbul cinta dan benci pada obyek yang sama. Tetapi seseorang dapat mencintai sesuatu hal dan membenci sesuatu hal lainnya. Uniknya cinta dan benci ternyata dapat timbul pada obyek yang sama manakala subyek yang mencinta dan membenci berbeda. Mengapa hal ini bisa terjadi? Di sinilah letak keunikannya, dan ketika kita dapat memahami ini akan dapat membuka cakrawala berfikir kita dan juga menimbulkan perasaan ‘cinta saja’ terhadap segala sesuatu, sekaligus menghapus rasa benci terhadap sesuatu yang lain.
Lho bagaimana mungkin manusia hanya memiliki cinta dan tidak ada rasa benci? Bukankah pada dasarnya manusia membenci hal-hal buruk seperti penindasan, kekejaman, kekasaran, sifat tamak, pelit, serta perampokan dan lain-lain hal yang dikategorikan buruk oleh kemanusian dan akal sehat serta agama? Tepat sekali! Benci dan kebencian pada hal-hal buruk yang disebutkan di atas sebenarnya bukan disebut benci tetapi cinta.
Mengapa? Karena manusia cinta pada hal-hal yang sebaliknya dari penindasan, kekejaman, kekasaran, sifat tamak, pelit, dan perampokan yaitu pemberian hak dan kebebasan, kelembutan dan kasih sayang, dermawan dan rasa ingin berbagi, serta penghormatan dan penjagaan hak-hak atau keadilan. Dengan demikian maka sebenarnya benci itu tidak benar-benar ada secara eksistensi dan obyektif. Mengapa bisa terjadi? Karena benci tidak akan pernah timbul manakala kita benar-benar mencintai yang sebaliknya dari yang kita benci tersebut sebagaimana digambarkan di atas. Kalau begitu, mengapa kita harus benci hanya pada adanya perbedaan pemahaman yang bahkan diakui bersama sesungguhnya bersumber dari sumber yang satu?
Mari kita runut bersama-sama. Kita coba kembali pada hal unik yang disebutkan di atas tentang fenomena adanya hasil yang bertolak belakang (bertentangan) bahwa antara individu yang satu dengan individu yang lain dapat menghasilkan sesuatu yang berlawanan dalam mengidentifikasi dan mengenali serta menyimpulkan suatu obyek. Subyek A mengidentifikasi, mengenali dan mengambil kesimpulan tentang obyek X menghasilkan cinta dan kecintaan, tetapi subyek B mengidentifikasi, mengenali dan menyimpulkan suatu hal yang sama yaitu obyek X tetapi menghasilkan benci dan kebencian.
Suatu obyek X yang hendak diidentifikasi, dikenali dan disimpulkan oleh subyek A maupun subyek B adalah sesuatu yang ada di luar diri subyek A maupun subyek B. Obyek X ini memiliki identitas obyektif dan tidak tergantung pada sesuatu di luarnya. Tetapi ketika subyek A dan subyek B tertuju perhatiannya pada obyek X, maka obyek X diberikan predikat-predikat berupa suatu nilai, identitas, status, dan hal lainnya untuk dapat menyebut dan mengenali serta menyimpulkan obyek X tersebut. Pandangan dan penilaian subyek baik A maupun B terhadap obyek X tentu sangat dipengaruhi oleh sesuatu yang melekat dan dimiliki subyek dan menjadi modal bagi subyek untuk mengenali dan mengidentifikasi obyek X tadi. Sesuatu yang melekat pada subyek dan sekaligus menjadi modal bagi subyek tersebut umumnya berbeda antara yang ada dan dimiliki subyek A dan subyek B. Hal inilah yang kemudian dapat dipahami ketika dalam fenomena kehidupan orang dapat berbeda pendapat satu dengan yang lainnya.
Seseorang yang sehat pemikirannya dan tidak mengidap sindrom superioritas pasti akan dengan sadar mengakui bahwa modal yang ada pada dirinya bukanlah segala-galanya dan satu-satunya yang lengkap, yang hal itu tidak dimiliki oleh selainnya. Begitu juga sangat mungkin sekali dirinya tidak atau belum memiliki atau memahami sesuatu ilmu dan pemahaman yang dimiliki oleh orang selainnya. Dengan menyadari hal ini, sangat naif bila kita mengklaim bahwa diri kita lah yang mempunyai identifikasi dan pengenalan terhadap sesuatu secara obyektif dan mutlak sembari menyatakan bahwa identifikasi dan pengenalan orang lain terhadap sesuatu itu seluruhnya salah dan tidak mengandung kebenaran sama sekali.
Apalagi bila kesimpulan yang diambil itu bukan langsung berasal dan bersumber dari dirinya tetapi dari kesimpulan orang lain lagi yang kita juga belum mengidentifikasi validitas dan kebenarannya, tetapi langsung kita telan mentah-mentah tanpa reserve, seolah-olah dia yakin Tuhan langsung berbicara kepadanya tentang hal tersebut.
Prinsip keterbukaan pemikiran dalam berfikir obyektif tanpa mengklaim kebenaran hanya ada pada pendapatnya saja ini sudah semestinya berlaku bagi seluruh manusia selain Nabi dan Rasul atau utusan-Nya. Mengapa demikian? Bukankah Nabi dan Rasul juga manusia? Benar bahwa Nabi dan Rasul juga manusia, tetapi Nabi dan Rasul adalah utusan yang dipilih oleh Pengutusnya yaitu Allah Swt, dan diberikan wahyu serta bimbingan langsung dari-Nya. Sehingga apa yang ada pada diri Nabi dan Rasul adalah bersumber pada kebenaran obyektif dan mutlak (baca: bukan spekulatif).
Hal tersebut kita yakini karena kita sebelumnya telah percaya dengan eksistensi Allah Swt dan bertauhid kepada-Nya, yang meniscayakan bahwa Nabi dan Rasul-Nya adalah representasi-Nya dan sebagai pembimbing yang mengajak seluruh manusia pada jalan keselamatan, yang terpelihara dari dosa sehingga meniscayakan ketaatan kepada mereka secara mutlak. Makanya kita saksikan, tidak pernah terjadi pertentangan apalagi permusuhan dan saling menyalahkan antara sesama Nabi dan Rasul karena sesuatu yang ada pada dirinya bersumber langsung dari bimbingan Yang Maha Mutlak. Bahkan kita sering mendegar suatu riwayat yang menyatakan bahwa jika Nabi dan Rasul dari mulai Adam As sampai Muhammad Saaw dikumpulkan niscaya tidak akan pernah didapati pertentangan pendapat di antara mereka karena segala yang ada pada mereka bersumber langsung dari Allah Swt.
Kembali pada masalah kita semua, yaitu umat manusia sebagai pengikut para Nabi dari mulai Adam As sampai Muhammad Saaw, sudah selayaknya menyadari bahwa diri kita ini bukanlah Nabi dan Rasul yang diutus oleh-Nya. Dengan demikian atas dasar apa manusia berperan seperti layaknya Nabi dan Rasul bahkan memposisikan dirinya seolah sebagai Tuhan yang memberikan vonis hukuman salah, sesat, kafir, neraka kepada selainnya dengan lantang sementara kita menyadari bahwa sesuatu dasar yang kita miliki sebagai bahan memberi vonis adalah ‘spekulatif’ dalam arti tidak mendapat dan mendengar langsung dari Nabi dan Rasul apalagi dari Allah swt, dan tidak jarang pula bersifat subyektif serta diiringi dengan hawa nafsu merasa paling utama dan benar sendiri. Bukankah Allah Swt menjelaskan kepada kita secara gamblang dalam firman-Nya (QS. Al-Hujurat: 14) “… dan janganlah kalian mengatakan kami telah beriman, tetapi katakan kami telah ber-Islam (berserah diri)” ?
Keimanan dilandasi oleh suatu proses tertentu yang pada akhirnya menghasilkan sebuah keyakinan. Sedangkan keber-Islam-an adalah pernyataan sikap ketundukan dan berserah diri pada kebenaran agama. Ayat di atas sungguh luar biasa bagi pembelajaran kita semua, sebab bagaimana mungkin proses yang kita jalani dan yang membuahkan keyakinan saja tidak boleh dijadikan dasar klaim kita dalam membenarkan diri kita sendiri dan menyalahkan/menyesatkan dan memvonis pihak lain, tetapi justru Allah Swt memerintahkan diri kita untuk berserah diri, yang artinya mengembalikan kebenaran sejati dan mutlak yang memang hanya ada pada dan milik Allah Swt saja.
Hal tersebut bukan berarti kita merelativisasi keyakinan yang kita miliki, tetapi justru membumikan keber-Islam-an yang rahmatan lil ‘alamin. Mengapa? Kembali sebagaimana yang disebutkan di atas karena kita ini bukan Nabi dan Rasul, walaupun segudang sumber dan pemikiran yang kita miliki, sekali lagi kita mesti sadar kita ini bukan Nabi dan Rasul yang berkomunikasi ‘langsung’ dengan Allah Swt. Kita tetap yakin agama ini sungguh sempurna mempunyai argumen yang sangat kokoh dari segala sisi, jadi jangan khawatir.
Nah, kembali pada pokok pembahasan cinta dan benci, sudah selayaknya kita mengambil pelajaran dari manusia-manusia suci keluarga Nabi alaihimussalam. Dikisahkan Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib cucu Nabi dicaci-maki oleh seseorang dan beliau bergeming, hanya mendengarkan serta diam seribu bahasa. Ketika itu beberapa orang yang menyaksikan sesak dadanya mendengar caci-maki tersebut yang sebenarnya tidak ada pada diri beliau. Beliau ditanya, “Wahai cucu Rasul, mengapa engkau tidak menanggapi atau membalas caciannya padahal segala caci-maki tersebut tidak ada pada dirimu?” Beliau berkata, “Aku tidak tahu bagaimana mesti membalasnya karena ayahku, ibuku, kakekku tidak pernah mengajarkan kebencian, cacian dan makian (aku tidak diajari membenci).”
Demi Allah, memang Nabi Muhammad Saw dan keluarga sucinya mengajarkan kepada kita juga umatnya apa itu cinta dan mencintai dan bukan mengajarkan benci dan membenci, meski sebenarnya yang terakhir ini tidaklah eksis melainkan hanya bayang-bayang non-eksistensi yang dibisikkan oleh nafsu syaithani. (AM Ali Akbar/Yudhi)