Ikuti Kami Di Medsos

Opini

Sampul The Economist: Elang yang Terluka, Imperium Menuju Senjakala

Sampul The Economist: Elang yang Terluka, Imperium Menuju Senjakala

Oleh: Muhlisin Turkan

Ahlulbait Indonesia – Dalam edisi 26 April 2025, The Economist dengan getir menghitung mundur 1.361 hari sisa masa jabatan kedua Donald Trump. Tapi angka itu lebih dari sekadar waktu; ia adalah simbol perlahan hancurnya sebuah imperium. Dengan menampilkan seekor elang, ikon lama Amerika yang kini membusuk dalam perban, bersayap terikat dan matanya penuh luka, The Economist menelanjangi kenyataan getir: Amerika bukan lagi penguasa langit dunia, melainkan makhluk sekarat yang terjerat oleh kerakusannya sendiri.

Melalui frasa “Donald Trump’s second term is a revolutionary project. Will it succeed?”, The Economist mengungkapkan kegelisahan kaum elit Barat sendiri, bahwa apa yang mereka sebut “proyek revolusioner” sejatinya adalah kekacauan struktural yang mempercepat pembusukan internal Amerika. Bukan revolusi menuju kejayaan, melainkan revolusi menuju kehancuran, ketika mesin-mesin kekuasaan, budaya, dan ekonomi yang menopang imperium itu tercerai-berai oleh tangan presidennya sendiri.

Elang Amerika, yang selama satu abad terakhir mengoyak dunia dengan kuku-kuku imperialismenya, kini tergolek tanpa daya. Sayap yang dulu melindungi hegemoni kini justru menjadi beban yang membelit. Setiap perban yang membungkus tubuh hingga cakar elang itu bukan hanya menutupi luka, melainkan mengakui kekalahan di medan perang ekonomi global, di front budaya, dan di panggung politik dunia.

Dalam bayang-bayang keruntuhan ini, poros-poros Perlawanan di belahan dunia tengah menggeliat dan menancapkan bendera baru.

Baca juga : EDITORIAL: Kemandirian Ekonomi Sebagai Fondasi Kebebasan dan Martabat

Di Asia Barat, di jantung tanah yang selama ini digempur tanpa ampun, bangsa-bangsa Perlawanan membangun dirinya dari puing-puing agresi Amerika. Di Gaza yang terkepung, di Yaman yang bangkit dari puing-puing, di Lebanon yang mengasah sabarnya, elang terluka itu bukan lagi simbol ketakutan, melainkan pertanda kehancuran yang tak dapat diperbaiki.

Di kawasan Global South, dari Caracas hingga Johannesburg, dari Teheran hingga Jakarta, kesadaran baru tumbuh, bahwa dunia tidak lagi tunduk di bawah bayang-bayang elang tua yang pincang itu. Sementara imperium sibuk membalut lukanya sendiri, kekuatan-kekuatan baru menulis peta sejarah dengan darah, ketabahan, dan perlawanan.

Kini, setiap hari yang berlalu bukan sekadar mendekatkan Amerika kepada masa kadaluarsa hegemoninya, tetapi juga mempercepat kelahiran zaman baru; zaman ketika elang yang terluka itu tak lagi ditakuti, melainkan akan segera dikuburkan dengan penuh keyakinan oleh bangsa-bangsa yang dulu ingin dilumpuhkannya.

Elang Amerika kini duduk dalam perban, matanya sayu, sayapnya patah, bukan karena musuh dari luar, tetapi karena beban kebohongan dan kerakusannya sendiri.

Di saat imperium menghitung hari-hari kejatuhannya, bangsa-bangsa yang pernah diinjak dan dijajah menyiapkan fajar baru. Dari reruntuhan Gaza hingga pegunungan Yaman, dari jalan-jalan Caracas hingga gurun-gurun Persia, dunia ini menulis eposnya sendiri: “Bahwa zaman elang telah berlalu, dan zaman para Perlawanan telah tiba waktunya.”[]

Baca juga : Keteguhan Imam Ja’far as-Shadiq: Inspirasi Abadi Perlawanan dari Madinah hingga Gaza