Ikuti Kami Di Medsos

Info ABI

Menempatkan ABI Secara Proporsional: Otoritas Lokal dalam Bingkai Kedaulatan NKRI

Menempatkan ABI Secara Proporsional: Otoritas Lokal dalam Bingkai Kedaulatan NKRI

Oleh: Redaksi Media ABI

Ahlulbait Indonesia – Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang berlandaskan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pengelolaan masyarakat sipil, termasuk organisasi kemasyarakatan (Ormas) keagamaan harus tunduk pada satu prinsip utama: kedaulatan negara yang berada di tangan rakyat, tetapi dijalankan secara terstruktur melalui lembaga-lembaga sah dalam sistem hukum nasional. Dalam konteks ini, Ormas Ahlulbait Indonesia (ABI), sebagai representasi sebagian besar komunitas Syiah di Indonesia, tidak beroperasi di ruang hampa. Sebagai entitas legal yang terdaftar di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), ABI memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap aktivitas yang melibatkan pihak asing, khususnya dari luar negeri, berjalan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (Kemendagri, 2023). Koordinasi dengan ABI menjadi sangat penting guna mencegah hal-hal yang berpotensi mengganggu tatanan sosial dan keagamaan di Indonesia.

ABI sebagai Titik Simpul Keamanan Sosial dan Budaya

ABI merupakan organisasi yang diakui secara hukum melalui Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dari Kemendagri. Dalam negara yang majemuk seperti Indonesia, keberadaan ormas keagamaan bukan sekadar pelengkap demokrasi, tetapi menjadi garda depan dalam menjaga integrasi sosial. Dalam hal ini, ABI menjalankan dua fungsi strategis:

1. Sebagai penghubung komunikasi antara komunitas Syiah dan negara.

2. Sebagai penyaring dan pengendali terhadap intervensi ideologi, narasi keagamaan, atau bantuan asing agar tetap sejalan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Dengan demikian, setiap kegiatan yang melibatkan lembaga atau individu asing yang menyasar komunitas Syiah harus dipandang dari sudut kedaulatan nasional. Tanpa koordinasi dengan ABI, negara akan kehilangan kendali awal atas aktivitas yang berpotensi menimbulkan penyimpangan ideologi maupun konflik horizontal.

Konsepsi “Tuan Rumah” dalam Konteks NKRI

Dalam kerangka NKRI, perumpamaan ABI sebagai “tuan rumah” memiliki dasar kuat dalam prinsip Subsidiaritas Sosial, yakni pelimpahan otoritas kepada entitas lokal untuk mengelola ruang sosialnya selama tidak bertentangan dengan hukum nasional. Dalam hal ini, “tuan rumah” merujuk pada ABI sebagai pengelola ruang sosial komunitas Syiah, bukan dalam kapasitas struktural pemerintahan, tetapi sebagai aktor sosial dan kultural.

Sebagai tuan rumah, ABI memikul tanggung jawab moral dan hukum ketika terdapat “tamu”, baik individu maupun lembaga asing yang beraktivitas di lingkup komunitas mereka. Aktivitas yang dilakukan tanpa sepengetahuan atau koordinasi, apalagi yang bersifat terbuka dan publik, berpotensi menciptakan ketegangan sosial, gangguan keamanan, serta sensitivitas antarumat beragama atau antarormas Islam lainnya. Dalam kondisi demikian, ABI sebagai tuan rumah akan menjadi pihak pertama yang dimintai klarifikasi oleh aparat keamanan.

Sejarah telah menunjukkan bahwa minimnya koordinasi antara pihak asing dan ormas lokal dapat memicu konflik sosial. Misalnya, pada tahun 2017, sebuah yayasan asal Timur Tengah menyelenggarakan seminar keagamaan di Jakarta tanpa berkoordinasi dengan ormas lokal. Kegiatan ini memicu kecaman karena dinilai membawa ajaran yang bertentangan dengan nilai-nilai lokal (Tempo, 2017).

Kasus serupa terjadi pada tahun 2019, ketika seorang penceramah asal Yaman melakukan safari dakwah di beberapa kota, termasuk Surabaya, tanpa koordinasi dengan ormas lokal. Kehadirannya memicu protes karena dianggap menyebarkan paham eksklusif yang berpotensi menimbulkan ketegangan sektarian (Kompas, 2019).

Peristiwa-peristiwa ini menegaskan pentingnya peran ABI, atau ormas sejenis dalam mengelola dan mengawasi ruang sosial dari penetrasi ideologi luar.

Baca juga : ABI Luncurkan Pusat Informasi Beasiswa untuk Perluas Akses Pendidikan Tinggi

Peran Kesbangpol dalam Pengawasan Ormas Asing

Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) memiliki mandat untuk menjaga keteraturan aktivitas organisasi asing di Indonesia. Dalam Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKjIP) tahun 2022, Kesbangpol menegaskan bahwa setiap aktivitas ormas asing harus melalui mekanisme koordinasi dan pengawasan ketat agar tidak mengancam keutuhan NKRI (Kemendagri, 2022).

Seorang pejabat Kesbangpol Jakarta bahkan menegaskan, “Semua kegiatan ormas asing atau afiliasinya yang bersentuhan dengan publik harus dilaporkan dan dikaji kesesuaiannya dengan nilai-nilai Pancasila dan hukum Indonesia.” (Kesbangpol DKI, 2022)

Perspektif Yuridis dan Kedaulatan Nasional

Secara yuridis, terdapat sejumlah regulasi yang menegaskan posisi ABI sebagai mitra strategis negara dalam pengelolaan aktivitas keagamaan yang melibatkan pihak asing:

1. UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan menyatakan bahwa ormas dapat bekerja sama dengan pihak asing, tetapi harus melalui koordinasi dan sepengetahuan pemerintah.

2. PP No. 59 Tahun 2016 tentang Organisasi Kemasyarakatan Asing mengatur bahwa lembaga atau individu asing wajib melapor dan mendapatkan persetujuan sebelum menggelar aktivitas di Indonesia, terutama yang menyentuh masyarakat lokal.

3. UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan mengatur aktivitas asing dalam kerangka diplomasi dan kerja sama yang transparan di dalam wilayah hukum Indonesia.

Dengan dasar hukum tersebut, ABI berperan sebagai pelindung garis depan terhadap penetrasi budaya, ideologi, dan politik asing yang tidak sesuai dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila.

Potensi Konflik Tanpa Koordinasi

Tanpa keberadaan ormas penghubung seperti ABI, berbagai aktivitas luar negeri yang dibungkus dalam bentuk bantuan sosial, pendidikan, atau dakwah keagamaan dapat menjadi saluran “soft infiltration”, kekhawatiran yang berpotensi membentuk opini publik yang bertentangan dengan nilai-nilai NKRI.

Contoh konkret dapat ditemukan di berbagai negara, di mana intervensi asing tanpa kontrol lokal justru memicu konflik, polarisasi sosial, bahkan radikalisasi.

Dalam konteks Indonesia yang plural dan sensitif secara keagamaan, ketidakhadiran mekanisme koordinasi lokal dapat berdampak serius. Oleh karena itu, ABI sebagai ormas resmi diberi peran otoritatif oleh negara dan masyarakat untuk menjadi penanggung jawab atas setiap aktivitas luar negeri yang menyasar komunitas Syiah di Indonesia.

Demi Ketahanan Sosial dan Stabilitas NKRI

ABI bukan sekadar organisasi masyarakat keagamaan, melainkan bagian integral dari sistem ketahanan sosial nasional. ABI memiliki peran strategis dalam menjaga keteraturan sosial, mengendalikan aktivitas luar yang masuk ke komunitasnya, serta memastikan kesesuaian seluruh kegiatan asing dengan hukum nasional dan nilai-nilai dasar NKRI.

Dalam kerangka sistemik, tidak akan ada kedaulatan nasional tanpa kedaulatan sosial di tingkat komunitas. ABI, sebagai pemegang otoritas sosial di lingkungan sebagian besar komunitas Syiah Indonesia, perlu diposisikan secara proporsional sebagai pengatur utama atas aktivitas eksternal di ruang komunitasnya. Menjaga ruang sosial dari intervensi luar yang tidak terkontrol adalah bagian dari menjaga keutuhan, kedamaian, dan kedaulatan Indonesia.

Koordinasi bukan sekadar etika sosial, tetapi juga instrumen penting dalam menjaga stabilitas nasional. Dalam dinamika global saat ini, peran ABI sebagai penghubung, pengawas, dan penjaga harmoni sosial menjadi sangat krusial. Jika organisasi atau individu asing diberi ruang bebas tanpa mitra lokal seperti ABI, maka yang dipertaruhkan bukan hanya integrasi sosial, tetapi kedaulatan NKRI itu sendiri.[]

*Referensi:

1. Kemendagri. (2023). Data Ormas Terdaftar di Kementerian Dalam Negeri.
2. Kemendagri. (2022). Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKjIP) Badan Kesbangpol.
3. Kompas. (2019). “Ceramah Pendakwah Asing di Surabaya Dikecam Ormas Lokal.”
4. Tempo. (2017). “Seminar Keagamaan Yayasan Timur Tengah Tuai Protes.” Tempo.co.
5. Kesbangpol DKI Jakarta. (2022). Pernyataan Resmi Terkait Pengawasan Ormas Asing.

Baca juga : Mawaddatuna: Membangun Cinta dalam Bingkai Tauhid dan Tradisi Ahlul Bait