Nasional
Trump Kenakan Tarif Impor 32% untuk Indonesia: Ancaman Serius bagi Ekonomi dan Tenaga Kerja
Ahlulbait Indonesia — Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali memicu ketegangan dagang global dengan mengumumkan kebijakan tarif impor baru, termasuk terhadap Indonesia. Dalam langkah terbarunya, ekspor Indonesia dikenakan tarif sebesar 32%, menyusul 13 negara lain yang masuk daftar penerima “surat cinta” dari Washington, dengan tarif berkisar antara 25% hingga 40%.
Pemerintah Indonesia menyatakan telah berupaya melakukan negosiasi sejak April 2025. Namun, belum ada titik temu. Bahkan, Trump mengancam akan menambah tarif 10% khusus bagi negara-negara anggota BRICS, termasuk Indonesia, dengan alasan aliansi tersebut dinilai mengancam dominasi dolar AS di pasar global.
Dampak Ekonomi: Output Turun, PHK Massal Mengancam
Dampak kebijakan ini dinilai signifikan. Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Nailul Huda, memperkirakan tarif 32% akan menyebabkan:
- Penurunan output ekonomi hingga Rp4 triliun
- Kehilangan pendapatan tenaga kerja sebesar Rp52 triliun
- Penurunan ekspor hingga Rp15,9 triliun
- Potensi hilangnya 1,2 juta lapangan kerja, terutama di sektor padat karya seperti tekstil
“Dampaknya akan terasa dalam satu tahun. Industri akan kesulitan ekspansi, PHK tak terhindarkan. Ini akan sangat dirasakan masyarakat,” ungkap Huda dalam program Kontroversi di Metro TV, Kamis (10/7).
Apindo: Ancaman Serius, Bukan Sekadar Tarif
Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi Apindo, Ajib Hamdani, menyebut tarif tersebut sebagai “ancaman langsung” terhadap keberlanjutan sektor usaha. Ia juga menyoroti risiko tambahan berupa banjir produk murah dari China akibat kebijakan proteksionis AS terhadap Tiongkok.
Negosiasi di Washington: Tawar Produk AS, Respons Minim
Sebagai respons, pemerintah melalui Menko Perekonomian Airlangga Hartarto tengah melobi Washington dengan menawarkan pembelian produk AS senilai lebih dari US$34 miliar—mencakup kedelai, gandum, kapas, LPG, minyak tanah, bensin, dan pesawat—untuk mengurangi defisit dagang AS terhadap Indonesia.
Namun, sejumlah analis menilai pendekatan ini kurang efektif. Prof. Hikmahanto Juwana, pakar hubungan internasional, menegaskan bahwa tarif Trump lebih bersifat politis ketimbang ekonomis.
“Ini bukan sekadar perang dagang. Trump ingin menarik investasi langsung ke AS. Kalau perusahaan tak pindahkan produksinya ke sana, tarif tetap berlaku,” tegasnya.
Baca juga : Menag RI Serukan Kerukunan sebagai Napas Kehidupan Berbangsa
Risiko Investasi Tinggi, Pilihan Terbatas
Beberapa kalangan pengusaha menilai syarat investasi di AS sebagai solusi tarif sangat tidak realistis. Selain biaya produksi tinggi, ada kekhawatiran terhadap kriminalisasi jika investasi gagal.
Sementara itu, anggota Komisi XI DPR RI, Putri Komarudin, menekankan pentingnya menjaga kedaulatan nasional di tengah tekanan global. Ia mendorong diversifikasi pasar ekspor dan reformasi regulasi agar ekonomi tidak terlalu bergantung pada AS.
“Tarif ini berdampak luas, termasuk pada nilai tukar dan stabilitas keuangan nasional. Ini momen untuk perbaiki struktur ekonomi,” ujarnya.
Langkah Antisipatif: Stimulus dan Strategi Jangka Panjang
Apindo menyarankan pendekatan “expect the best, prepare for the worst” dengan tiga langkah kunci:
- Mendorong hubungan dagang yang lebih adil
- Mempercepat diversifikasi pasar ekspor
- Mengakselerasi reformasi ekonomi domestik
Pemerintah juga telah menyiapkan paket stimulus Rp24,4 triliun, termasuk bantuan sosial dan subsidi upah. Menurut Fitra Faisal Hastiadi, Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden, kebijakan ini dirancang untuk menahan dampak sosial-ekonomi dari tarif baru AS.
Menanti 1 Agustus: Diplomasi atau Diversifikasi?
Dengan tenggat waktu 1 Agustus 2025 sebagai tanggal efektif pemberlakuan tarif, posisi Indonesia kini berada di persimpangan strategis: terus bernegosiasi atau segera memperluas pasar alternatif.
“Jika publik AS mulai terdampak akibat lonjakan harga barang impor, tekanan balik akan muncul dari dalam negeri mereka. Itu bisa menjadi celah diplomatik bagi kita,” ujar Prof. Hikmahanto.
Satu hal yang pasti, ketahanan ekonomi nasional kini benar-benar diuji. []
Baca juga : Indonesia Serahkan 10.000 Ton Beras untuk Palestina, Siap Bangun Kerja Sama Pertanian
