Opini
Analisis Pidato Imam Ali Khamenei: Persatuan, Ilmu Pengetahuan, Martabat, dan Cermin Bagi Indonesia
Oleh: Redaksi Media ABI
Ahlulbait Indonesia – Pidato Ayatullah Ali Khamenei pada peringatan 1 Mehr (awal tahun ajaran baru di Iran) yang disampaikan pada Selasa malam, 23 September 2025, terdengar jauh melampaui sebuah sambutan akademik. Pidato yang hadir sebagai deklarasi kemandirian, sekaligus refleksi mendalam tentang martabat bangsa dalam kancah internasional yang sarat ketimpangan.
Di hadapan jutaan rakyat Iran, Imam Ali Khamenei menegaskan tiga pesan utama: pertama, persatuan nasional sebagai benteng negara, kedua, ilmu pengetahuan sebagai instrumen kedaulatan, dan ketiga, penolakan terhadap diplomasi yang lahir dari paksaan dan dikte.
Meski berangkat dari konteks situasi dan kondisi Iran, namun gema pidato tersebut menembus batas geografis. Ini adalah seruan universal bagi setiap bangsa yang ingin berdiri tegak menghadapi tekanan kekuatan global. Dan bagi Indonesia, pesan itu menemukan relevansi yang tak kalah penting di tengah dinamika geopolitik dan tantangan kemandirian nasional saat ini.
Persatuan di Tengah Perbedaan
Iran baru saja melewati perang yang dipaksakan selama dua belas hari dengan Israel. Upaya musuh bukan hanya menghantam dengan bom, tetapi juga merancang skenario kekacauan sosial untuk mengguncang stabilitas dari dalam negeri. Namun kenyataan berbicara lain, rakyat justru memenuhi jalan-jalan bukan untuk melawan negaranya, melainkan untuk menegaskan bahwa Republik Islam masih berakar kuat dalam legitimasi rakyatnya.
Imam Ali Khamenei menegaskan: “Dalam menghadapi musuh, seluruh kumpulan ini adalah satu kepalan tangan baja yang akan menghantam ubun-ubun musuh; hari ini seperti itu, di masa lalu juga demikian, dan insya Allah di masa depan juga akan demikian.”
Beliau juga mengingatkan bahwa persatuan ini bukan fenomena sesaat, “Sebagian pihak, dengan sumber dari luar negeri, ingin menciptakan kesan bahwa persatuan hanya terjadi pada awal perang, lalu akan melemah. Perkataan ini sama sekali salah. Ya, ada perbedaan politik, ada keragaman etnis, tetapi semuanya bangga dengan keiranian mereka. Di hadapan musuh, rakyat Iran tetap satu,” tegasnya.
Pesan ini jelas, bahwa persatuan bukan berhenti pada simbol atau romantisme nasional. Persatuan adalah syarat eksistensial yang membuat bangsa mampu bertahan dalam guncangan sejarah.
Ilmu Pengetahuan sebagai Kedaulatan
Ayatullah Ali Khamenei menyinggung panjang lebar soal pengayaan uranium, isu yang selama dua dekade menjadi titik konflik antara Iran dengan dunia Barat. Namun di balik istilah teknis itu tersimpan filosofi besar, bahwa ilmu pengetahuan adalah sumber kedaulatan sebuah bangsa.
Beliau menekankan: “Hari ini, di antara lebih dari dua ratus negara di dunia, hanya sepuluh yang mampu melakukan pengayaan, dan salah satunya adalah Iran Islam.”
Imam Ali Khamenei juga menegaskan bahwa capaian ini bukan hadiah, melainkan buah perjuangan panjang: “Beberapa manajer yang bersemangat dan para ilmuwan yang bertanggung jawab memulai proyek pengayaan uranium lebih dari tiga puluh tahun lalu. Hari ini, hasilnya adalah puluhan profesor terkemuka, ratusan peneliti, dan ribuan kader nuklir yang aktif di bidang pengobatan, pertanian, industri, hingga energi.”
Menurutnya, keberhasilan ini tidak bergantung pada segelintir orang: “Di Iran, ada ribuan ilmuwan, profesor, dan kader di bidang nuklir. Mereka pantang mundur dari proyek pengayaan uranium.”
Lebih tegasnya lagi Imam Ali Khamenei menolak anggapan bahwa tekanan dapat menghentikan langkah Iran: “Ilmu pengetahuan tidak bisa dihancurkan dengan bom. Ilmu pengetahuan tidak hilang dengan ancaman. Ilmu ini telah berakar, dan generasi muda kita akan terus melanjutkannya.”
Bagi Imam Ali Khamenei, pengayaan uranium bukan semata soal energi. Ini adalah simbol perlawanan terhadap status quo global yang menempatkan ilmu pengetahuan sebagai monopoli segelintir negara, sekaligus bukti bahwa kemandirian ilmiah merupakan bentuk kedaulatan yang sejati.
Baca juga : Orkestra Monoton Sang Maestro Mikrofon di PBB
Dialog, Dikte, dan Harga Diri
Bagian paling tajam dari pidato Ayatullah Khamenei adalah sikapnya terhadap Amerika Serikat. Beliau dengan lantang menolak bentuk perundingan apapun yang sejak awal sudah ditentukan hasilnya, yakni Iran harus menghentikan pengayaan, melepaskan rudal, dan melemahkan pertahanan nasional.
Dengan tegas beliau menyatakan: “Itu bukan perundingan; itu adalah pemaksaan. Duduklah di meja hanya untuk mendengar apa yang mereka inginkan, perkataan ini lebih besar dari mulut pengucapnya.”
Imam Ali Khamenei menambahkan bahwa negosiasi semacam itu hanya akan menjerumuskan bangsa ke dalam lingkaran kelemahan: “Menerima perundingan di bawah ancaman berarti mengakui bahwa Iran bisa ditakut-takuti. Jika kita menyerah pada satu ancaman, besok mereka akan datang dengan ancaman lain. Tidak ada akhirnya.”
Ayatullah Ali Khamene juga mengingatkan pengalaman pahit perjanjian JCPOA: “Kita memenuhi kewajiban kita, tetapi mereka tidak mencabut sanksi, bahkan kemudian merobek perjanjian itu sendiri. Dengan pihak yang selalu ingkar janji, bagaimana mungkin kita berbicara tentang perundingan yang adil?”
Pesan yang ingin ditegaskan Imam Ali Khamenei sangat gamblang, bahwa diplomasi sejati hanya bermakna bila berdiri di atas prinsip kesetaraan. Segala bentuk perundingan yang berlandaskan ancaman atau pemaksaan hanyalah jalan menuju kerugian dan penghinaan bangsa.
Relevansi bagi Indonesia
Bagi Iran, kemandirian adalah harga yang tak ternilai. Mereka rela menanggung sanksi dan embargo, bahkan ancaman militer, demi menjaga martabat bangsa. Indonesia memang tidak berada dalam situasi serupa, tetapi prinsip yang sama tetap berlaku, bahwa tanpa kemandirian, kedaulatan hanyalah slogan kosong belaka.
Hari ini, Indonesia menghadapi tantangan global yang nyata, ketergantungan pada impor energi, kerentanan pangan, dominasi asing dalam teknologi digital, serta penetrasi modal asing dalam sektor-sektor strategis. Kita memang tidak dihadapkan pada embargo, namun bentuk ketergantungan yang halus sering kali lebih berbahaya daripada blokade terbuka.
Peristiwa terbaru menegaskan hal ini. Pada 22 Juli 2025, The White House mengumumkan bahwa Amerika Serikat dan Indonesia mencapai sebuah “Historic Trade Deal“. Perjanjian itu dipuji oleh sebagian elit negeri sebagai tonggak baru hubungan bilateral. Namun di balik euforia tersebut, muncul pertanyaan mendasar: apakah kesepakatan ini memperkuat posisi Indonesia, atau justru memperdalam ketergantungan kita pada pihak luar?
Di atas kertas, tarif impor produk Indonesia ke Amerika Serikat memang diturunkan menjadi 19 persen, angka yang disebut terendah di Asia Tenggara. Tetapi imbal baliknya jauh lebih berat, karena Indonesia dipaksa membuka hampir seluruh sektor pasarnya bagi produk AS, dengan penghapusan tarif hingga 99 persen barang. Dari pertanian hingga otomotif, dari farmasi hingga energi, pasar domestik dibentangkan bak karpet merah untuk produk asing.
Lebih dari itu, pagar-pagar proteksi non-tarif yang selama ini melindungi industri nasional ikut dilucuti. Persyaratan konten lokal dihapus, standar keselamatan dan emisi kendaraan asing diakui tanpa verifikasi domestik, sementara sertifikasi obat dan alat kesehatan cukup mengacu pada Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (Food and Drug Administration (FDA)). Hasilnya, produk Amerika dapat masuk tanpa sekat, sementara industri lokal dibiarkan telanjang menghadapi kompetisi yang timpang.
Dalam pidatonya, Ayatullah Khamenei mengingatkan: “Bangsa yang bermartabat akan menampar mulut siapa pun yang berkata Iran tidak boleh memiliki pengayaan.” Pesan ini dapat dibaca lebih luas, bahwa bangsa yang besar tidak boleh menyerahkan hak-haknya, bahkan jika penyerahan itu dibungkus dengan janji manis perjanjian internasional, termasuk perjanjian berbahaya, yang oleh Washinton sebut sebagai “Fact Sheet: The United States and Indonesia Reach Historic Trade Deal“.
Jalan Sulit
Pidato Imam Ali Khamenei pada akhirnya tidak bisa dibaca hanya berupa seruan ideologis, melainkan peringatan yang melintasi batas geografis dan bangsa, sebuah negara yang ingin hidup bermartabat harus berani menanggung jalan yang sulit. Persatuan, kemandirian ilmu pengetahuan, dan diplomasi yang setara adalah tiga pilar yang membedakan bangsa yang berdiri tegak dari bangsa yang hanya menjadi catatan kaki sejarah.
Seperti ditegaskan Imam Ali Khamenei: “Jalan penyembuhan untuk kemajuan negara adalah dengan menjadi kuat; jika lawan melihat kita kuat, mereka bahkan tidak akan berani mengancam.”
Indonesia, dengan segala potensinya, dapat mengambil pelajaran berharga dari pesan berharga itu. Bukan dengan meniru model Iran, melainkan dengan menyerap intinya, bahwa hanya bangsa yang percaya pada kekuatan sendiri yang akan dihormati oleh bangsa-bangsa di dunia.
Sebab pada akhirnya, kemerdekaan sejati bukan berarti bebas dari masalah, melainkan keberanian untuk menghadapi setiap masalah dengan tegak, tanpa tunduk pada siapa pun. []
Referensi:
- Pidato Imam Ali Khamenei pada Selasa malam, 23 September 2025
- Fact Sheet: The United States and Indonesia Reach Historic Trade Deal
Baca juga : Merawat Persatuan Mungkinkah? Refleksi Seminar Nasional “Nabi Muhammad SAW Mempersatukan Kita”
