Ikuti Kami Di Medsos

Opini

Menyimak Pidato Ayatullah Khamenei: Pelajaran Krusial bagi Indonesia di Tengah Gejolak Global

Menyimak Pidato Ayatullah Khamenei: Pelajaran Krusial bagi Indonesia di Tengah Gejolak Global

Oleh: Redaksi Media ABI

Ahlulbait Indonesia — Pidato Ayatullah Ali Khamenei pada Kamis (27/11) malam yang disirkan melalui TV nasional Iran mengenai Perang 12 Hari bukan semata-mata perayaan retoris. Pidato ini adalah deklarasi tegas, bahwa Iran tetap bertahan dan bahkan memperkuat diri di tengah krisis. Ketika Ayatullah Khamenei menyatakan bahwa Iran “tanpa keraguan” menang, itu merupakan peringatan kepada dunia bahwa tekanan militer, diplomatik, dan ekonomi belum mampu mematahkan fondasi politik negara tersebut.

Konteks global kini bergerak cepat. Serangan ke Gaza dan dampak kemanusiaannya telah mengubah persepsi internasional, termasuk di Barat. Dalam situasi ini, Iran melihat peluang untuk menegaskan dirinya sebagai aktor yang tidak bisa dipinggirkan dalam percaturan Timur Tengah.

Ketahanan yang Dibangun dari Jalanan: Basij dan Arsitektur Ketahanan Iran

Ketika Ayatullah Khamenei menyebut Basij sebagai “kekayaan besar”, beliau sedang menggambarkan sebuah jaringan sosial-politik yang telah dibangun selama lebih dari empat dekade. Basij bukan hanya kekuatan paramiliter, tetapi struktur mobilisasi masyarakat yang menyentuh pendidikan, industri, riset, dan layanan sosial serta publik.

Model ini sering diperdebatkan di luar Iran, namun bagi kepemimpinan negara itu, Basij merupakan inti dari ketahanan masyarakat. Dengan kata lain, ketahanan Iran bukan hasil dari kekuatan negara semata-mata, tetapi dari partisipasi kolektif masyarakat yang terorganisir dan menyeluruh.

Kekalahan Strategis Washington–Tel Aviv: Perang 12 Hari sebagai Titik Balik

Ayatullah Khamenei menyebut Amerika Serikat dan Israel “pulang dengan tangan hampa”. Klaim ini tidak berdiri di ruang hampa. Sejak ofensif Gaza dimulai, lebih dari 69.785 Jiwa Sejak 7 Oktober 2023 (porosperlawanan.com). Ini menggerus legitimasi moral Israel dan menempatkan Washington dalam sorotan kritis.

Opini publik Amerika juga berubah. Survei Gallup pada Juli 2025 menunjukkan hanya 32% warga AS yang mendukung operasi militer Israel, turun sekitar 10 poin dari tahun sebelumnya (Gallup Poll). Sementara 60% tidak setuju.

Dengan latar ini, narasi Ayatullah Khamenei bahwa strategi musuh gagal menemukan pantulannya di opini global.

Amerika dalam Sorotan Global: Erosi Citra AS dan Reorientasi Tatanan Internasional

Ayatullah Khamenei tidak hanya menyinggung Gaza. Beliau menarik garis panjang intervensi Amerika di Ukraina, Irak, dan Afghanistan sebagai bukti bahwa keberadaan AS tidak otomatis menghadirkan stabilitas. Dalam pandangan Teheran, dunia mulai melihat Washington bukan sebagai penjaga tatanan global, tetapi sebagai sumber turbulensi internasional.

Penolakan Ayatullah Khamenei atas klaim bahwa Iran mengirim pesan melalui pihak ketiga kepada AS menunjukkan sikap tegas, bahwa Teheran menolak masuk dalam orbit diplomatik yang menempatkan mereka pada posisi subordinat.

Rumah Rapat, Bukan Rekayasa: Stabilitas Domestik sebagai Doktrin Geopolitik

Empat seruan Ayatullah Khamenei mengenai persatuan nasional, dukungan terhadap pemerintah, efisiensi sumber daya, dan penguatan spiritual tampak sebagai ajakan moral, bukan hanya bagi Iran, tapi bagi global. Namun substansinya adalah strategi stabilisasi domestik. Negara yang selalu berada dalam radar musuh membutuhkan struktur internal yang solid agar tidak dijadikan pion geopolitik.

Refleksi Strategis dan Rekomendasi Kebijakan bagi Indonesia

Indonesia tidak berada di episentrum konflik Timur Tengah, namun dinamika global bergerak tanpa sekat. Dari pidato Ayatullah Khamenei, ada pelajaran yang layak disimak untuk memperkuat kedaulatan Indonesia.

  1. Membangun “Ketahanan Publik” sebagai Pilar Kedaulatan Nasional

Ketahanan nasional harus berbasis pada kesiapsiagaan masyarakat modern,  bukan paramiliter, tetapi civilian resilience yang profesional:

  • literasi keamanan digital,
  • jaringan relawan teknologi,
  • kemitraan ilmiah untuk mitigasi ancaman non-militer.

Baca juga : Cinta dan Benci: Identitas Keberagamaan dalam Perspektif Ayyamul Fatimiyah

Ini adalah cara untuk memastikan masyarakat menjadi benteng pertama terhadap tekanan eksternal.

  1. Kemandirian Teknologi dan Energi sebagai Syarat Kedaulatan

Negara hanya berdaulat jika menguasai teknologinya. Indonesia perlu mempercepat:

  • riset energi strategis (nuklir non-militer, geothermal, bioenergi),
  • teknologi pertahanan (drone, radar, siber),
  • teknologi sipil–pertahanan (AI, material canggih, navigasi satelit).

Peran BRIN, TNI, BUMN strategis, dan universitas negeri besar harus didefinisikan melalui mandat yang jelas dan anggaran yang memadai.

  1. Diplomasi Kemanusiaan Indonesia Harus Lebih Tegas dan Terukur

Dengan posisi moral yang kuat, Indonesia harus menjadi penggerak bukan pengikut:

  • membentuk koalisi internasional bantuan Gaza,
  • menggalang negara Asia–Afrika untuk investigasi independen kejahatan perang,
  • menjadikan Palestina agenda permanen diplomasi luar negeri.

Kredibilitas moral Indonesia diuji justru pada isu seperti ini.

  1. Meneguhkan Otonomi Strategis di Tengah Polarisasi Global

Blok-blok kekuatan kembali terbentuk, dan Indonesia harus menjaga ruang geraknya. Strategi multi-alignment aktif adalah fondasi untuk menghindari jebakan keberpihakan. Pada titik inilah muncul isu krusial yang perlu disampaikan dengan jernih: pengiriman pasukan TNI ke Gaza, dalam situasi apa pun, berpotensi merugikan Tentara Nasional Indonesia dan kepentingan bangsa secara keseluruhan.

Indonesia selama ini dihormati sebagai negara yang paling vokal dan konsisten mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina. Reputasi moral ini merupakan aset diplomatik yang tidak dimiliki banyak negara.

Namun, partisipasi militer Indonesia dalam mandat pasukan internasional (ISF) di Gaza justru membawa risiko besar.

Pertama, keterlibatan militer akan menggeser posisi Indonesia dari jalur diplomasi moral ke jalur konflik bersenjata, sebuah domain yang tidak pernah menjadi keunggulan strategis Indonesia di Timur Tengah.

Kedua, kehadiran TNI di wilayah yang dipenuhi kelompok Perlawanan, faksi politik, dan pengaruh negara-negara besar akan menempatkan Indonesia dalam situasi yang tidak bisa dikendalikan sepenuhnya.

Ketiga, langkah tersebut berpotensi mengikis citra Indonesia sebagai negara yang netral, bersuara independen, dan dihormati oleh semua pihak dalam isu Palestina. Jika reputasi ini pudar, kemampuan diplomasi Indonesia akan ikut melemah.

Dengan kata lain, pengiriman pasukan ke Gaza bukan hanya berisiko terhadap TNI, tetapi juga dapat menggerus leverage diplomatik Indonesia yang selama ini begitu kuat.

Dalam situasi geopolitik yang sangat cair, otonomi strategis diperkuat bukan dengan masuk ke medan konflik, tetapi dengan menjaga independensi analitis, posisi moral, dan kapasitas diplomasi yang tidak tercemar oleh perang pihak lain.

Penutup

Pidato Ayatullah Khamenei menunjukkan bagaimana sebuah negara membaca krisis global dan mengubahnya menjadi momentum konsolidasi kekuatan. Pelajarannya jelas bagi Indonesia, bahwa kemandirian, kohesi nasional, dan kecerdasan geopolitik adalah fondasi untuk tetap berdiri tegak di dunia yang semakin cair.

Dalam situasi global yang kian tidak menentu, fondasi inilah yang menentukan apakah sebuah bangsa bertahan, atau terseret oleh arus yang diciptakan pihak lain. []

Sumber: Khamenei.ir

Baca juga : Ledakan di SMA Negeri 72 Jakarta: Mendidik Jiwa dan Menyembuhkan Luka Sosial