Ikuti Kami Di Medsos

Dunia Islam

Dimensi Spiritualitas dan Kebudayaan dalam Tradisi Menghafal Al-Quran Menurut Ayatullah Ali Khamenei

Dimensi Spiritualitas dan Kebudayaan dalam Tradisi Menghafal Al-Quran Menurut Ayatullah Ali Khamenei

Ahlulbait Indonesia – Ketika Ayatullah Hassanzadeh menuliskan penyesalannya karena lebih banyak menghafal syair daripada ayat suci, pernyataan tersebut pada hakikatnya menggugah kesadaran kolektif bahwa kecintaan pada sastra dapat memikat, tetapi fondasi keilmuan dan spiritualitas Islam tetap berpusat pada Al-Quran. (Mirat Mandegar, hlm. 563)

Tradisi Islam senantiasa menempatkan hafalan Al-Quran sebagai usaha intelektual sekaligus pembinaan ruhani. Para ulama, baik dari kalangan Syiah maupun Sunni, sejak era awal hingga masa kini, sepakat bahwa hafalan tidak hanya berfungsi sebagai penjaga teks, tetapi menjadi instrumen pembentuk karakter, penjernih pemikiran, dan pintu menuju etika Qurani. Dalam konteks modern yang sarat gangguan informasi dan dominasi opini cepat, ajakan untuk kembali kepada hafalan Al-Quran memperoleh relevansi yang semakin kuat.

Di Iran, Pemimpin Tertinggi Revolusi, Ayatullah Imam Ali Khamenei berkali-kali menegaskan pentingnya hafalan Al-Quran sebagai investasi budaya dan spiritual. Pemimpin Tertinggi Revolusi menekankan bahwa umat Islam perlu menjadikan hafalan sebagai “aset hidup,” bukan hanya aktivitas ritual. Kepada kelompok usia remaja, Ayatullah Ali Khamenei menyampaikan bahwa masa muda merupakan fase yang paling tepat untuk menyerap Al-Quran, karena fondasi yang dibangun pada periode tersebut menentukan kedalaman pemahaman di masa dewasa. (Qur’an Kitab Hidayah, hlm. 43)

Dalam pertemuan dengan para qari muda pada 18 September 2001, Ayatullah Khamenei menguraikan gagasan yang lebih luas tentang menghafal Al-Quran yang merupakan bentuk persiapan modal intelektual jangka panjang. Walaupun tingkat kedalaman makna mungkin belum sepenuhnya dipahami oleh para remaja, pemahaman yang lebih mendalam akan tumbuh seiring perkembangan ilmu dan pengalaman hidup. Lebih lanjut Ayatullah Khamenei menekankan perbedaan fundamental antara seseorang yang harus merujuk mushaf untuk mencari ayat dan seseorang yang membawa ayat-ayat tersebut di dalam ingatan. Dalam dunia kajian Islam, perbedaan tersebut merupakan batas antara pembacaan yang bersifat teknis dan keterhubungan yang hidup dengan Al-Quran. (Pernyataan Pemimpin Tertinggi, pertemuan dengan pembaca dan penghafal Al-Quran muda, 18 September 2001)

Baca juga : Ustadz Miqdad Ajak Pemuda Mahdawiyah Berjuang dengan Ketulusan di Jalan Allah

Pada kesempatan 1 Maret 1980, Ayatullah Khamenei menegaskan bahwa hafalan Al-Quran sepatutnya menjadi agenda nasional. Penekanan terhadap pentingnya hafalan tersebut disampaikan dalam konteks pembinaan budaya, termasuk ketika membahas isu wajib militer. Pemimpin Tertinggi Revolusi tidak mengurangi kedudukan Jihad, tetapi justru menegaskan bahwa Jihad dan tilawah Al-Quran merupakan dua bentuk pengabdian yang sejajar. (Upacara perpisahan Prof. Shahat Mohammadanour & Prof. Mohammad Basiuni, 1 Maret 1980)

Seruan serupa datang dari para ulama terkemuka. Ayatullah Bahjat menggambarkan bahwa hafalan Al-Quran sebagai cara untuk selalu berada di bawah naungan ajaran suci dalam menghadapi tekanan dan keresahan dunia modern. Ayatullah Bahjat menjelaskan bahwa hafalan pada dasarnya mudah dilakukan, sedangkan menjaga kontinuitas hafalan membutuhkan ketekunan.
(Menuju Sang Kekasih, hlm. 71; Di Hadapan Ayatollah Bahjat, hlm. 115)

Ayatullah Boroujerdi memberikan penjelasan yang tegas lagi, bahwa hafalan Al-Quran merupakan bekal hidup, dan merugilah siapa pun yang meninggalkan dunia tanpa membawa bekal tersebut. (Riwayat Hidup Ayatullah Boroujerdi, hlm. 165)

Sementara Ayatullah Ma‘rifat memandang hafalan Al-Quran sebagai kebutuhan mendasar bagi masyarakat Islam. Menurutnya, Al-Quran harus tersimpan dalam hati, bukan semata-mata berada di lembaran mushaf atau rak-rak perpustakaan. Ayatullah Ma‘rifat menegaskan, membaca, mencatat, dan menghafal Al-Quran secara benar merupakan kewajiban yang semakin mendesak pada era ketika prinsip keadilan Islam menjadi kerangka masyarakat. Seruan tersebut merupakan ajakan untuk tidak menjadikan Al-Quran hanya simbol, melainkan pedoman hidup yang operasional.

Gerakan menghafal Al-Quran di Iran pasca-Revolusi Islam tidak muncul tanpa sebab. Ayatullah Hassanzadeh Amoli menjelaskan bahwa kemajuan gerakan tersebut merupakan hasil pertemuan antara pengorbanan para Syuhada, dedikasi para pecinta Al-Quran, dan kepemimpinan Pemimpin Tertinggi Revolusi sebagai pembawa panji gerakan tersebut. Menurut Ayatullah Hassanzadeh Amoli, kebangkitan yang terjadi menunjukkan bahwa komitmen kolektif mampu mengubah hafalan dari praktik individual menjadi budaya nasional.

Dalam konteks dunia Muslim yang lebih luas, gerakan serupa memperlihatkan bahwa hafalan Al-Quran dapat menjadi proyek kebudayaan, bukan hanya kegiatan religius. Praktik ini berpotensi mempengaruhi pola pikir, pendidikan, serta struktur sosial masyarakat. Dengan demikian, hafalan Al-Quran bukan retorika spiritual belaka, melainkan strategi peradaban yang memiliki implikasi jangka panjang. []

Sumber: Tasnim

Baca juga : Duhai Gaza, Ketika Sepotong Roti Dibayar dengan 51 Nyawa

Continue Reading