Dunia Islam
Duhai Gaza, Ketika Sepotong Roti Dibayar dengan 51 Nyawa
Ahlulbait Indonesia — Di tanah yang tak pernah tidur dari derita dan debu kehancuran, Gaza terus berdarah, terus bernanah. Tapi bukan dentuman bom yang langsung menyobek langit pagi itu. Bukan pula perlawanan bersenjata yang menyalakan bara. Yang tumpah adalah darah orang-orang lapar. Yang jatuh adalah mereka yang hanya ingin makan untuk bertahan hidup. Dan yang diburu… bukan senjata, melainkan sepotong roti.
Rabu pagi itu (30/7), di wilayah Al-Sudaniyah, ribuan warga berdiri mematung dalam antrean panjang yang nyaris tak bersuara. Tak ada teriakan. Tak ada protes. Hanya tubuh-tubuh lelah dengan tulang menonjol di balik pakaian lusuh, dan mata-mata yang telah lama kehilangan cahaya. Mereka menanti bukan kemerdekaan, bukan kedamaian, hanya bantuan pangan, sebuah sekantong tepung, beberapa kaleng kacang, atau sepotong roti untuk satu hari lagi hidup.
Namun, bahkan harapan serendah itu pun dibalas dengan kematian. Dalam waktu tak sampai tiga jam, dentum meriam kembali mengguncang Gaza. Peluru menyalak. Langit memerah. Tubuh-tubuh berserakan. Lima puluh satu jiwa direnggut dari dunia ini, bukan karena mereka memegang senjata, melainkan karena mereka berani berharap tidak mati kelaparan. 648 lainnya terluka, sebagian kehilangan tangan, kaki, penglihatan, dan sebagian lagi kehilangan alasan untuk tetap percaya pada dunia.
Di antara korban ada seorang anak lelaki, enam tahun usianya. Tangannya masih menggenggam sepotong roti yang baru saja diterimanya. Ia tak sempat memakannya. Sebuah peluru menembus dadanya lebih cepat dari suapan pertamanya hari itu.
Baca juga : Situs Ibrani Walla: Justru Gaza yang Akan Menghapus Israel dari Peta Dunia

Menurut laporan dari Tasnim News Agency pada Kamis (31/7), kantor media pemerintah Gaza menyebut serangan zionis ini sebagai kejahatan berdarah yang disengaja. Tentara Israel menembaki warga sipil yang berkumpul untuk menerima bantuan pangan. Tak ada alasan militer. Tak ada dalih keamanan. Hanya satu pesan yang ingin disampaikan, yakni bahkan untuk hidup pun, rakyat Gaza harus siap mati.
“Ia hanya ingin sepotong roti,” kata seorang ibu sambil memeluk tubuh anaknya yang telah dingin. “Dan mereka membunuhnya karena itu.”
Hari itu, roti menjadi barang paling berbahaya di Gaza.
Meski 112 truk bantuan berhasil melintasi perbatasan Gaza pada hari yang sama, sebagiannya tak pernah tiba di tangan yang kelaparan. Bantuan-bantuan yang membawa sisa-sisa harapan itu tercecer, dijarah, dan hilang ditelan kekacauan. Namun kekacauan ini bukan kekacauan yang lahir dari kelaparan semata. Bukan jeritan massa yang panik. Bukan gejolak spontan dari perut-perut kosong yang tak tahu ke mana lagi harus berharap. Ini adalah kekacauan yang dirancang, disusun dan terus dipelihara. Kekacauan yang sengaja diciptakan, dengan presisi dan niat jahat, oleh rezim pendudukan.
Otoritas Gaza menyebutnya sebagai bagian dari strategi kotor bernama “rekayasa kekacauan dan kelaparan”, sebuah kebijakan biadab yang menggunakan penderitaan sebagai alat kendali, dan kelaparan sebagai senjata paling sunyi namun paling mematikan.
Bukan hanya roti yang dirampas, tapi juga tatanan, harapan, dan martabat.
Distribusi bantuan yang seharusnya menjadi jalur hidup terakhir bagi jutaan jiwa yang terkepung, dibelokkan, digagalkan, dan dikacaukan, agar kelaparan menjadi permanen, agar rakyat Gaza tak sekadar mati, tapi mati perlahan, dalam sunyi, di tengah dunia yang memilih menoleh ke arah lain.
“Kami lapar bukan karena tak ada makanan. Kami lapar karena mereka menciptakan kelaparan itu,” ujar seorang relawan yang menyaksikan pembantaian di Al-Sudaniyah.
Kini Gaza menjadi wilayah dengan tingkat kerawanan pangan tertinggi di dunia. Tidak ada tempat lain di muka bumi di mana sepotong roti menjadi barang langka, dan pencariannya berarti pertaruhan nyawa.
Pernyataan resmi dari pemerintah Gaza memperingatkan, bahwa wilayah ini membutuhkan 600 truk bantuan pangan dan bahan bakar setiap hari untuk bertahan hidup. Tapi dunia membisu, dan pengepungan terus mencengkeram. Jumlah itu kini hanyalah angan di tengah blokade yang kejam dan peluru yang tak pernah berhenti menyalak.
Duhai Gaza, hingga kapan dunia menonton saat anak-anakmu mati karena lapar? Hingga kapan tangisanmu dianggap sunyi, dan darahmu sekadar dianggap deretan angka-angka?
Dalam peradaban yang mengaku modern, Gaza adalah cermin… Iya cermin bahwa kebiadaban tak selalu berbentuk tank dan bom, kadang datang dalam bentuk kelalaian dan diam. []
Baca juga : Pernyataan Ayatullah Sistani: Dunia Islam Tidak Boleh Bungkam atas Bencana Kemanusiaan di Gaza
