Ikuti Kami Di Medsos

Info ABI

Dari Teheran ke Jakarta: Pesan Ayatullah Khamenei tentang Pasar, Kesejahteraan, dan Meja Makan Rakyat

Dari Teheran ke Jakarta: Pesan Ayatullah Khamenei tentang Pasar, Kesejahteraan, dan Meja Makan Rakyat

Oleh: Redaksi Media ABI

Ahlulbait Indonesia – Harga kebutuhan pokok yang kian tak terkendali, keresahan masyarakat terhadap pasar yang semakin liar, serta ketidakpastian nafkah sehari-hari kembali menegaskan bahwa isu kesejahteraan rakyat adalah persoalan paling mendesak bagi sebuah negara. Dalam pertemuan dengan Presiden dan Dewan Menteri Iran pada Minggu malam (7/9), Ayatullah Ali Khamenei menegaskan hal paling mendasar, bahwa nafkah dan kesejahteraan rakyat adalah isu utama yang tidak boleh diabaikan.

Pesan itu terdengar sederhana, namun sesungguhnya mengguncang. Beliau mengingatkan bahwa di atas segala agenda politik, diplomasi, bahkan ideologi besar, terdapat satu pertanyaan yang jauh lebih hakiki, yaitu apakah rakyat dapat hidup layak, membeli kebutuhan pokok tanpa keresahan, dan menata hidupnya tanpa rasa takut harga melonjak esok hari. Pertanyaan tersebut bukan hanya relevan di Teheran, tetapi juga bergema kuat di Jakarta.

Kenyataannya, keresahan rakyat Iran bukanlah kisah asing bagi rakyat Indonesia. Di pasar tradisional maupun swalayan modern, harga beras, minyak goreng, gula, hingga daging kerap melompat tak menentu. Setiap lonjakan meninggalkan jejak kegelisahan yang sama, bagaimana rakyat kecil mampu bertahan ketika pasar dibiarkan liar dan negara tampak lamban mengendalikan keadaan?

Dalam pidatonya, Ayatullah Khamenei mengurai persoalan ekonomi dengan gamblang tentang harga-harga kebutuhan pokok yang tak terkendali, monopoli impor bahan pangan, pemborosan sumber daya, rendahnya produktivitas industri, hingga pasar yang seolah telah kehilangan disiplin. Beliau menekankan pentingnya mengendalikan pasar agar harga tidak berubah seenaknya, menjamin stok kebutuhan pokok, serta menutup ruang bagi spekulasi. Menurutnya, rakyat seharusnya bisa membeli setidaknya sepuluh barang-barang pokok tanpa perlu khawatir harga akan berlipat ganda dari hari ke hari.

Solusi yang beliau tawarkan pun sangat konkret:

  1. Revitalisasi produksi nasional. Unit produksi tidak boleh berhenti hanya karena krisis listrik atau birokrasi yang lamban.
  2. Menjamin stok pangan. Pasokan harus konsisten agar rakyat tidak ditakut-takuti oleh kelangkaan buatan.
  3. Mengakhiri monopoli impor. Kompetisi sehat harus dijalankan agar harga tidak dikendalikan segelintir kelompok.
  4. Mengendalikan pemborosan. Dari listrik, air, gas, hingga perjalanan pejabat yang tidak produktif.

Semua diarahkan pada satu hal: mengembalikan rasa tenang rakyat atas keberlangsungan hidupnya.

Indonesia dalam Cermin Iran

Apa yang disampaikan Ayatullah Khamenei di Teheran, sejatinya bukan cerita asing di Jakarta. Keresahan rakyat Iran adalah keresahan rakyat Indonesia. Bedanya hanya soal aktor yang menjadi korbannya, tetapi secara substansi sama, bahwa rakyat menghadapi pasar yang tidak tertib, harga pangan yang tidak stabil, dan pemerintah yang sering kalah cepat dibanding para spekulan.

Di Indonesia, beras yang merupakan makanan pokok utama, telah berulang kali mengalami lonjakan harga. Minyak goreng sempat menjadi barang langka yang dijajakan seperti emas kecil. Gula, daging, hingga gas elpiji, selalu hadir dalam siklus krisis yang sama. Penyebabnya mirip dengan Iran, rantai distribusi yang panjang, ketergantungan pada impor, kartel yang menguasai perdagangan, serta lemahnya pengawasan di lapangan.

Baca juga : Sekjen ABI: 28 Safar Jadi Momentum Refleksi Kepemimpinan dan Solidaritas untuk Palestina

Seperti di Iran, rakyat Indonesia pun bertanya-tanya, mengapa negara hadir hanya sebagai penonton ketika pasar dipermainkan oleh segelintir aktor? Mengapa kebutuhan dasar yang seharusnya paling mudah dijaga, malah menjadi yang paling rawan dari gejolak harga?

Pesan Ayatullah Khamenei soal mendisiplinkan pasar patut digarisbawahi. Dalam pandangannya, pasar tidak bisa dibiarkan bergerak liar, karena pada akhirnya rakyatlah yang menanggung akibatnya. Disiplin pasar bukan berarti mematikan mekanisme perdagangan bebas, melainkan memastikan bahwa pasar tidak berubah menjadi rimba tempat yang kuat memangsa yang lemah.

Indonesia juga membutuhkan hal yang sama. Bukan hanya operasi pasar yang sporadis, tetapi sistem pengawasan yang konsisten. Bukan hanya subsidi darurat, tetapi jaminan ketersediaan barang pokok. Bukan hanya retorika kemandirian pangan, tetapi investasi nyata pada produksi dalam negeri.

Dengan kata lain, pemerintah harus menertibkan pasar, bukan hanya merespons krisis ketika situasai sudah pecah.

Lebih dari Persoalan Ekonomi

Ayatullah Khamenei menegaskan, disiplin pasar bukanlah pilihan, melainkan kebutuhan mendesak. Pasar yang dibiarkan liar pada akhirnya melukai rakyat. Baginya, disiplin pasar bukan berarti mematikan perdagangan bebas, tetapi memastikan pasar tidak berubah menjadi rimba tempat yang kuat memangsa yang lemah.

Hal ini bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi juga sosial dan politik. Ayatullah Khamenei mengingatkan, ketika kebutuhan dasar rakyat tidak terjamin, semangat persatuan, motivasi, dan harapan bangsa akan luntur. Rakyat yang dapurnya tak lagi mengepul, akan sulit diminta berkorban demi cita-cita besar negara.

Indonesia menghadapi situasi serupa. Krisis pangan dan harga pokok tidak semata soal daya beli, melainkan soal legitimasi negara di mata rakyat. Bagaimana pemerintah bisa bicara tentang “Indonesia Emas 2045” atau ambisi global lainnya, jika saat ini saja rakyat masih kesulitan membeli beras dengan harga wajar? Bagaimana berbicara tentang kedaulatan energi bila gas elpiji melonjak tiap beberapa bulan sekali?

Ayatullah Khamenei menegaskan, negara tidak boleh menunggu solusi eksternal. Meski Iran terjepit sanksi internasional, beliau menekankan solusi tetap harus dicari dari dalam lewat motivasi, kerja keras, dan konsensus nasional. Indonesia pun harus belajar dari prinsip ini. Ketergantungan pada impor pangan dan energi hanyalah jebakan jangka panjang. Jalan keluar ada pada penguatan produksi lokal, reformasi distribusi, dan keberanian memutus monopoli.

Legitimasi di Meja Makan

Akhirnya, yang dipertaruhkan bukan hanya angka inflasi atau neraca perdagangan. Yang dipertaruhkan adalah kepercayaan rakyat terhadap negara. Ayatullah Khamenei benar ketika menyebut nafkah dan kesejahteraan rakyat sebagai isu terpenting. Sebab pada titik itulah martabat negara sedang dipertaruhkan, apakah negara mampu melindungi rakyatnya dari kecemasan paling dasar, apakah besok rakyat masih bisa makan dengan layak?

Bagi Indonesia, pelajaran dari Iran sangat jelas, bahwa disiplin pasar bukan pilihan, melainkan keharusan dan kewajiban. Tanpa itu, harga beras akan terus melompat, minyak goreng dan elpiji akan kembali langka, dan keresahan rakyat akan menjadi bara yang sulit dipadamkan.

Negara, pada akhirnya, diuji bukan di panggung pidato, melainkan di meja makan rakyatnya sendiri. []

Sumber: https://khl.ink/f/61231

Baca juga : Departemen Litbang DPP ABI Gelar Diskusi Tematik Seri IV: Dorong Keadilan Ekonomi dan Kesejahteraan Umat