Ikuti Kami Di Medsos

Info ABI

#PODCAST | Bullying, Kekerasan dan Krisis Akhlak: Alarm bagi Dunia Pendidikan

#PODCAST | Bullying, Kekerasan dan Krisis Akhlak: Alarm bagi Dunia Pendidikan

Ahlulbait Indonesia – Fenomena kekerasan di sekolah seolah tak pernah benar-benar mereda. Setiap kali publik berharap situasi membaik, rangkaian kasus baru justru muncul: anak SMP yang berkelahi hingga menimbulkan luka serius, siswa SMA yang dirundung sampai mengalami trauma panjang, hingga perundungan yang direkam lalu disebarluaskan ke media sosial seakan menjadi tontonan yang layak dirayakan. Alih-alih menjadi ruang aman bagi tumbuh kembang anak, sebagian sekolah kini berubah menjadi arena tempat kekerasan dipertontonkan, disebarluaskan, dan lebih menyakitkan lagi—dinormalisasi.

Dalam Podcast Muslimah edisi Jumat, 21 November 2025, Host Batoulizzakia kembali mengangkat pertanyaan mendasar yang mengusik banyak orang tua dan pendidik: apa sebenarnya yang sedang terjadi dengan generasi muda kita? Mengapa angka kekerasan dan bullying justru meningkat, padahal kita hidup di zaman yang diklaim lebih beradab, terdidik, dan religius?

Untuk menguraikan persoalan ini, hadir narasumber berpengalaman, Siti Rabiatul Aydiah Syofyanti, konselor keluarga, akademisi di Al-Mustafa Open University, sekaligus praktisi psikologi Islam dengan pengalaman lebih dari dua dekade. Rekam jejaknya panjang—dari konseling keluarga, pendidikan anak, hingga terapi psikospiritual—memberinya perspektif menyeluruh terkait akar permasalahan perundungan.

Bullying: Kekerasan yang Mengakar, Bukan Sekadar Kenakalan

Menurut Aydiah, perundungan adalah bentuk kekerasan sebaya, baik fisik maupun nonfisik, yang dapat muncul lewat tindakan emosional, verbal, hingga digital. Internet bahkan memperluas wilayah kekerasan dengan menyediakan anonimitas bagi pelaku, membuat mereka semakin berani.

Bullying tidak hanya melibatkan pelaku dan korban. Selalu ada tiga pihak yang terlibat:

1. Pelaku
2. Korban
3. Penonton (bystander)

Sering kali, kerusakan terbesar justru datang dari pihak ketiga—para saksi yang tidak berani bertindak, memilih diam, atau lebih buruk lagi, ikut menyebarkan rekaman kekerasan. Di era digital, pembiaran berubah menjadi dukungan viral yang memperpanjang luka psikologis korban.

Ketiga pihak ini, menurut Aydiah, tidak lahir dari ruang hampa. Ada kondisi sosial yang membentuk mereka.

Masyarakat yang Sakit Melahirkan Kekerasan di Sekolah

Sekolah adalah miniatur masa depan bangsa. Jika kekerasan meningkat di sekolah, itu menandakan ada keretakan di tingkat masyarakat.

Aydiah menjelaskan bahwa melonjaknya kasus bullying berkaitan dengan beberapa kondisi berikut:

1. Masyarakat yang “fakir”: ekonomi, ilmu, hingga spiritual.
Kefakiran di sini bukan hanya materi, tetapi juga kedalaman spiritual, kualitas relasi sosial, pendidikan akhlak, serta kapasitas emosional keluarga dan masyarakat. Ketika kondisi sosial memburuk—kriminalitas naik, tekanan ekonomi berat, relasi keluarga retak—anak-anak membawa beban itu ke sekolah.

2. Keluarga yang tidak berfungsi (family dysfunction).
Anak yang tumbuh tanpa dukungan emosional, tanpa bimbingan adab, atau bahkan dibesarkan dengan bahasa kekerasan menjadi rentan:
– sebagai pelaku, karena menirukan pola yang ia terima,
– atau sebagai korban, karena tidak memiliki ketahanan emosional dan keterampilan melindungi diri.

Rumah yang seharusnya menjadi tempat pertama belajar kasih sayang justru berubah menjadi sumber luka yang menular.

3. Sistem pendidikan yang tidak siap.
Banyak sekolah tidak memiliki mekanisme pencegahan, tidak mempunyai skrining psikologis, tidak melatih guru menghadapi kekerasan, bahkan menganggap perundungan sebagai “tradisi” atau “hal biasa”.

Ketika korban melapor, respons yang muncul sering kali: “Sudah biasa, nanti juga selesai sendiri.” Sikap seperti inilah yang membuat bullying berkembang tanpa hambatan.

Baca juga : RKUHAP Dinilai Setengah Hati Atur Hukuman Mati, ABI Dorong Keadilan Substantif

Mengapa Pelaku Melakukan Perundungan?

Aydiah menegaskan bahwa pelaku tidak bisa dipandang semata sebagai “anak nakal”. Banyak dari mereka memiliki latar belakang psikologis tertentu:

1. Agresi bawaan yang tidak terkelola.
Ada anak yang memiliki kecenderungan agresi tinggi, energi besar, dan impulsivitas kuat, terutama di masa remaja.

2. Kurangnya keterampilan sosial dan komunikasi.
Anak yang tidak mampu menyampaikan keinginan secara sehat sering menjadikan kekerasan sebagai “bahasa”.
Ketika kemampuan mengelola emosi minim, mereka lebih mudah meledak, menyerang, atau menekan orang lain.

3. Luka lama yang diwariskan.
Banyak pelaku adalah mantan korban. Mereka pernah dipukul, dipermalukan, diteriaki, atau diabaikan. Luka yang tidak sembuh itu mendorong mereka mencari pelampiasan agar merasa “berdaya”.

Bullying menjadi rantai kekerasan antargenerasi, kecuali ada pihak yang berani memutuskannya.

Lalu Bagaimana dengan Akhlak? Mengapa Kita Gagal?

Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar, nilai akhlak seharusnya tumbuh kuat. Namun realitas berkata lain.

Aydiah menjelaskan beberapa sebab utama:

1. Nilai agama diajarkan sebagai doktrin, bukan kesadaran batin.
Anak diajari “boleh–tidak boleh”, tetapi tidak ditumbuhkan kesadarannya. Ketika fitrah moral tumpul, anak tidak lagi merasa bersalah ketika melukai orang lain.

2. Akhlak tidak lahir dari hafalan, melainkan dari hubungan dengan Allah.
Jika agama hanya berhenti sebagai formalitas—hafalan doa, tata cara ibadah, atau aturan moral—tanpa menyentuh hati, ia tidak cukup untuk mencegah kekerasan.

3. Lingkungan yang melemahkan nurani.
Tekanan sosial, tuntutan akademik, paparan media kekerasan, dan budaya digital yang agresif mengikis kepekaan moral.
Saksi mata yang seharusnya mencegah justru ikut merekam, mengomentari, atau menertawakan.
Itulah yang disebut Aydiah sebagai hilangnya fungsi akal fitrah: kemampuan mengenali kebenaran dan keberanian memilihnya.

Memutus Rantai Kekerasan: Peran Kita Semua

Jika bullying adalah fenomena sosial, penyelesaiannya juga harus bersifat sosial: melibatkan keluarga, sekolah, masyarakat, dan pembuat kebijakan. Namun titik utamanya adalah memulihkan fitrah—menyadarkan kembali bahwa setiap manusia memiliki nilai, dan melukai orang lain berarti merendahkan martabat dirinya sendiri.

Komponen yang ditekankan:

1. Keluarga.
Membangun relasi hangat, bukan memerintah dengan ancaman; melatih anak mengenali perasaan; mengajarkan komunikasi sehat; mengembangkan empati sejak dini.

2. Sekolah.
Membentuk sistem pencegahan yang jelas; melatih guru mengenali tanda-tanda bullying; menyiapkan unit konseling yang kompeten; menciptakan budaya disiplin humanis, bukan represif.

3. Masyarakat dan Media.
Menghentikan glorifikasi kekerasan; tidak menyebarkan konten perundungan; menyediakan ruang aman bagi perkembangan anak dan remaja.

4. Penguatan spiritual.
Tidak sekadar kurikulum agama, tetapi menghidupkan hubungan anak dengan Tuhan agar mereka memiliki orientasi moral yang kokoh.

Alarm yang Tidak Boleh Diacuhkan

Kasus-kasus yang muncul belakangan bukan sekadar insiden. Mereka adalah alarm keras bahwa dunia pendidikan sedang dilanda krisis akhlak, krisis kepemimpinan moral, dan krisis empati. Jika alarm ini tidak direspons, kita akan melahirkan generasi yang kuat fisiknya tetapi rapuh jiwanya, cerdas otaknya tetapi tumpul nuraninya.

Melalui percakapan yang jujur dan mendalam, Aydiah mengingatkan bahwa memutus rantai bullying bukanlah tugas satu pihak. Ini tugas kolektif—orang tua, guru, masyarakat, dan siapa pun yang percaya bahwa masa depan bangsa hanya dapat dibangun dengan akhlak yang hidup, bukan sekadar slogan.

Semoga perbincangan ini membuka mata, menggerakkan hati, dan memantik langkah nyata untuk memulihkan dunia pendidikan sebelum lebih banyak anak pulang bukan membawa ilmu, tetapi membawa luka. [BJ]

Baca juga : Ahlulbait Indonesia Luncurkan QRIS ABI Peduli Palestina