Islam dan Media Sosial
Bandung – Seiring dengan semakin mudahnya mengakses internet, pengguna media sosial di Indonesia meningkat signifikan. Pada tahun 2013, menurut data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) pengguna internet mencapai 63 juta orang. Dari angka tersebut, 95 persennya menggunakan internet untuk mengakses media sosial. Sedangkan survei tahun 2016 menunjukan bahwa pengguna Facebook sudah mencapai 71,6 juta pengguna.
Sayangnya, beberapa tahun terakhir ini media sosial banyak dijadikan wahana penyebar hoax, provokasi, dan hasutan atas nama agama. Dalam seminar bertajuk “Islam dan Media Sosial: Bahaya Disinformasi di Sekitar Kita”, masalah ini dikupas secara cukup komprehensif. Seminar yang diselenggarakan oleh Sekolah Islam Ilmiah Lembaga Pembinaan Ilmu-Ilmu Islam di Aula Yayasan Muthahhari, Bandung, 19/02/2017 ini menghadirkan 4 pembicara, yaitu Budhiana Kartawijaya (wartawan senior dari Harian Pikiran Rakyat), Dr. KH Jalaluddin Rakhmat (pakar komunikasi), Dr. Dimitri Mahayana (pakar IT), dan Dr. Dina Y. Sulaeman (pakar Timteng), dengan moderator Dr. Babul Ulum.
Baca juga Syiah dan Pemberitaan Media Mainstream
Dalam paparannya, Dina Y. Sulaeman menyatakan bahwa media sosial berhasil membantu upaya penggulingan rezim diktator di Tunisia dan Mesir. Massa berhasil diprovokasi melalui Facebook dan Twitter untuk turun ke jalan dan berdemo besar-besaran. Namun di Suriah, kasusnya berbeda. Upaya penggalangan massa melalui media sosial tidak berhasil, dan akhirnya malah media sosial digunakan untuk menyebarkan kebencian kepada rezim Suriah, lalu mendatangkan milisi-milisi jihad dari berbagai negara.
Sayangnya, konflik Suriah juga membawa dampak buruk bagi Indonesia karena gelombang kebencian terhadap pemerintah Suriah (yang dianggap Syiah) juga dibawa-bawa ke Indonesia, dengan berbagai motif, antara lain menggalang dana dan pasukan ‘jihad’ ke Suriah. Akibatnya, hate speech (ujaran kebencian), terutama kepada komunitas Syiah, sangat gencar dilakukan, dan meluas pada kelompok-kelompok lain, termasuk non-Muslim.
“Saat ini orang dengan mudah di depan umum menyerukan bunuh, gantung, atau perang. Ini tidak kita temui sebelum konflik Suriah,” kata Dina.
Dina menyarankan sejumlah tips agar publik terhindar dari berita hoax yang akan memprovokasi kebencian atas nama agama, antara lain: penggunaan nalar dan logika saat mencerna informasi, mempelajari geopolitik internasional, dan menggunakan Google Image untuk mengecek apakah sebuah foto palsu atau tidak.
Sementara itu, Dr. KH Jalaluddin Rakhmat membahas mengenai fenomena media sosial yang sudah “diambil alih” oleh kebencian. Selain dilakukan oleh pihak-pihak yang secara sengaja ingin memicu konflik seperti di Suriah, ada orang-orang yang mengalami gangguan psikologis yang menyebarkan kebencian. Orang-orang ini disebut ‘troll’. Mereka gemar memberi komentar-komentar di luar topik, dengan tujuan memprovokasi, mempermainkan, memunculkan kemarahan, dan menyakiti hati orang lain. Mereka mendapatkan kepuasan dari perilaku ini.
Menurut Dr. Jalaluddin, teknik kampanye atau propaganda dengan menyebarkan kebencian lebih efektif daripada menyebarkan cinta kasih. Dengan kata lain, menambahkan bumbu kebencian dalam sebuah cerita akan membuat cerita itu semakin viral. Bila ditelaah, hal ini karena kebencian membuat otak manusia menjadi bersifat ‘reptilian’ (menggebu-gebu, agresif), sehingga semakin mereka menerima berita berbumbu kebencian, semakin marah, dan semakin viral-lah berita itu.
Dr. Jalaluddin menyebut bahwa ini adalah teknik propaganda yang pernah diajarkan Anatoly Lunacharsky, tokoh Uni Soviet, “Singkirkan cinta, yang diperlukan untuk menguasai dunia adalah kebencian.”
Sementara itu, narasumber ketiga, Budhiana Kartawijaya menjelaskan mengenai fenomena echo-chamber (ruang gema) yang berkembang di antara pengguna medsos, dimana publik hanya mau mendengar kebenaran yang disampaikan di antara kelompoknya sendiri. Ada pula fenomena bullshiter, mereka tidak berbohong, tetapi mendekonstruksi kebenaran. Misalnya ketika kebenaran umum adalah ‘bumi itu bulat’, mereka menciptakan versi kebenaran sendiri, yaitu ‘bumi itu datar’.
Dalam menyikapi informasi yang amat simpang siur, Budhiana menganjurkan agar publik terlebih dulu check dan recheck pada media yang kredibel. Karena, sebuah informasi bisa dipertanggungjawabkan bila sumber dan lembaganya jelas identitasnya. Pemerintah sudah mengatur hukum dan kode etik jurnalisme dalam UU no 40 tahun 1990. Budhiana juga memberikan tips ‘fiqih medsos’, yaitu bila menerima informasi, cek dulu, benar atau tidak. Bila terbukti benar, cek lagi, apakah bermanfaat bila disebar atau tidak? Bila memang bermanfaat, barulah klik ‘share’.
Pembicara terakhir, Dimitri Mahayana, memfokuskan pembahasan mengenai langkah pemerintah dalam menangkal penebaran hoax ini. Menurutnya, UU ITE sangat penting untuk menjaga NKRI, karena 50% power (kekuatan) ada di media. Dimitri juga memaparkan hasil-hasil surveynya di tengah pengguna medsos. Hasil survey itu antara lain ada 2% warga Indonesia yang aktif mengikuti situs yang mengandung radikalisme dan 6% dari mereka menyebarkan ulang isi situs itu. Karena informasi yang dibawa oleh situs-situs semacam ini lebih sering berupa hoax yang berbahaya bagi persatuan umat dan keutuhan NKRI, publik perlu bersikap aktif dengan melaporkannya kepada Kominfo. (dikutip dari laman liputanislam.com)