Kebangkitan dan Perlawanan Thawwabin Pasca Tragedi Asyura
Perlawanan atau Kebangkitan Thawwabin adalah perlawanan kaum Syiah pertama kali setelah Peristiwa Asyura dengan tujuan menuntut darah Imam Husain as dan syuhada Karbala pada tahun 65 H/684. Kebangkitan ini terjadi antara pecinta Ahlulbait as menghadapi pasukan Bani Umayah di daerah yang disebut dengan ‘Ain al-Wardah. Pemimpin kebangkitan itu adalah Sulaiman bin Shurad al-Khuzai.
Setelah Peristiwa Asyura dan syahadah Imam Husain a.s beserta para penolong setianya, sebagian kaum Syiah yang telah berjanji memberikan baiat kepada Imam Husain a.s mengundang beliau ke Kufah, namun di kemudian hari, mereka mengkhianati Imam Husain a.s dan gagal menolong Imam. Oleh sebab itu, mereka sangat menyesal atas kesalahannya dan hendak menebus dosa-dosa mereka. Mereka mengadakan musyawarah secara intensif dan memutuskan bahwa kejahatan ini tidak akan terhapus bila tidak membalas para pembunuh Imam Husain a.s. [1]
Beberapa bulan setelah Peristiwa Karbala, kira-kira seratus orang Syiah berkumpul di rumah Sulaiman bin Shurad al-Khuzai, seorang zahid dan abid terkemuka di Kufah. Pada pertemuan itu, Sulaiman dengan mengisyaratkan ayat 54 surah Al-Baqarah dan taubat kaum Nabi Musa as kepada hadirin dan berkata:“Kita berjanji menolong Ahlulbait a.s, namun kita tidak menolongnya. Kita tidak melakukan sesuatu sehingga anak-anak para Nabi terbunuh. Sekarang Allah swt tidak akan meridhai kita sampai kita memerangi orang-orang yang membunuhnya. Tajamkan pedang-pedang kalian, siapkan kuda-kuda dan kekuatan-kekuatan kalian hingga ada seruan untuk melakukan penyerangan”. [2]
Setelah mendengar perkataan Sulaiman bin Shurad, pemuka-pemuka Syiah lainnya seperti: Musayyib bin Najbah Fazari, Rifa’ah bin Syadad Bajali, Abdullah bin Wal Tamimi dan Abdullah bin Sa’ad Nufail Azdi juga berpidato. Akhirnya Sulaiman bin Shurad Khuza’i dipilih sebagai pemimpin kebangkitan Tawwabin.[3]
Berdasarkan pertemuan-pertemuan yang diadakan, tujuan kebangkitan tawwabin bisa dibagi menjadi dua bagian:
- Menuntut darah dari para pembunuh Imam Husain a.s
- Menyerahkan pemerintahan kepada keluarga Nabi Muhammad saw
Untuk mendirikan kebangkitan ini kelompok Tawwabin mengadakan pertemuan-pertemuan pada tahun 61 H/681 secara sembunyi-sembunyi, semenjak menyusun kekuatan hingga menentukan kapan kebangkitan itu akan diadakan. Pertemuan ini dihadiri oleh Sulaiman bin Shurad al-Khuzai. Mereka secara sembunyi-sembunyi menyusun kekuatan dan menghimpun senjata, baik di Kufah maupun di kabilah-kabilah sekitarnya untuk mempersiapan peperangan. [4]
Setelah pasukan terbentuk, pada tahun 64 H/684, Sulaiman bin Shurad menulis surat kepada Sa’ad bin Khudzaifah, pemimpin kaum Syiah Madain dan Mutsana bin Makhramah al-Abdi kemudian mengajak mereka untuk mengadakan perlawanan. Kaum Syiah Basrah pun menerima ajakan Sulaiman bin Shurad al-Khuzai dan mengumumkan kesiapan diri mereka untuk ikut serta dalam perlawanan itu. [5]
Berdasarkan laporan sejarawan, permulaan kebangkitan Tawwabin terjadi pada tanggal 1 Rabiul Awwal tahun 65 H/684 dan Sulaiman bin Shurad membuat pengumuman untuk merekrut pasukan. Mereka dengan kekuatan beberapa ribu orang meneriakkan syiar “Ya Latsaratil Husain” dan bergerak ke arah Nukhailah. Adanya kenyataan bahwa orang-orang Madain dan Basrah tidak menepati janji mereka menyebabkan Sulaiman bin Shurad bersedih hati. Dilaporkan bahwa dari 16 ribu orang yang berjanji akan ikut melakukan kebangkitan itu, hanya tercatat 4 ribu orang yang berkumpul di Nukhailah.[6]
Mukhtar Tsaqafi menilai bahwa Sulaiman bin Shurad tidak mengetahui ilmu-ilmu politik dan pertahanan, sehingga kebanyakan kaum Syiah menarik diri dari Sulaiman. [7] Pasukan Tawwabin pada tanggal 5 Rabiul Awwal meninggalkan Nukhailah menuju Damaskus. Ketika pasukan itu sampai di Karbala, mereka turun dari kuda-kuda mereka dan menangis di pusara Imam Husain a.s kemudian membentuk kumpulan besar. [8]
Sulaiman berkata kepada para hadirin: “Tuhanku! Saksikanlah bahwa kami memusuhi orang-orang yang membunuh Imam Husain as dan kami berada di jalan agama dan jalan Imam Husain a.s”. [9] Pasukan Tawwabin juga berdoa karena mereka tidak mendapat taufik syahadah di jalan Imam Husain as, mereka memohon semoga Allah swt tidak mencabut taufik syahadah dari mereka setelah kesyahidan Imam Husain as.[10]
Pasukan Tawwabin sebelum berhadap-hadapan dengan pasukan Syria, beristirahat di sebuah tempat bernama Ainul Wardah dan mendirikan tenda di sana selama lima hari. Pada hari pertama, Sulaiman bin Shurad al-Khuzai berkhutbah di depan pasukannya menjelaskan tentang perlawanan Tawwabin dan mengenalkan penggantinya. Ia berkata kepada para hadirin: “Apabila aku terbunuh, maka Musaib bin Najbah yang akan menjadi komandan pasukan dan setelah ia, Abdullah bin Sa’ad bin Nufail yang akan menjadi komandan pasukan selanjutnya. Setelah itu, Abdullah bin Nufail yang akan memimpin pasukan. Kemudian dilanjutkan oleh Abdullah bin Wal dan Rafa’ah bin Syadad al-Bajali. [11] Pada tanggal 25 Jumadil Awal, dua pasukan saling berhadapan dan mulai terjadi peperangan yang dahsyat antara pasukan Tawwabin dan pasukan Syria. [12]
Setelah perang berkecamuk selama empat hari, sangat banyak dari pasukan Tawwabin yang syahid karena dikepung pihak musuh. Komandan pasukan Tawwabin satu persatu gugur sebagai syahid dan dalam waktu yang singkat, mereka terpaksa mundur setelah dikomandani oleh Rafa’ah bin Syadad Bajali. Ketika pasukan Tawwabin hendak pulang, mereka bertemu dengan orang-orang Syiah Madain dan Bashrah yang bermaksud hendak menolong pasukan Tawwabin dan setelah menyatakan kesedihannya, orang-orang Syiah Madain dan Basrah itu kembali ke kotanya.
Pasca kebangkitan Tawwabin menderita kekalahan, Mukhtar Tsaqafi yang sedang dipenjara dan setelah sampai di Kufah, memuji tindakan Sulaiman dan berjanji akan mengadakan perlawanan guna membalas dendam atas darah pasukan Tawwabin dan Imam Husain a.s. [13] Muhammad Husain Ja’fari dalam kitab Tasyayu’ dar Masir Tārikh berkeyakinan bahwa meskipun kelompok Tawwabin secara lahiriyah kalah dengan pasukan Umawi, namun mereka mampu membentuk kebangkitan pertama kali secara teratur dari kaum Syiah. Karena kebangkitan itu berdasarkan tafakur Syiah dan dipengaruhi oleh kesyahidan Imam Husain a.s, maka kebangkitan itu mampu memajukan kaum Syiah. [14]
Source: wikishia.net
Catatan kaki
- Al-Thabaqāt al-Kubrā, jld. 6, hlm. 25; Kitāb al-Futuh, jld. 6, hlm. 205 dan 206.
- Bihār al-Anwār, jld. 45, hlm. 355.
- Al-Kāmil fi al-Tārikh, jld. 4, hlm. 160.
- Tārikh Thabari, jld. 4, hlm. 430 dan 431.
- Bihār al-Anwār, jld. 45, hlm. 355 dan 356; Tārih Thabari, jld. 4, hlm. 429.
- Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld. 8, hlm. 276-277.
- Al-Nasyah al-Syiah al-Imāmiyah, hlm. 80.
- Al-Kāmil fi al-Tārikh, jld. 4, hlm. 178.
- Tārikh Thabari, jld. 4, hlm. 456 dan 457.
- Maqtal Abu Mikhnaf, hlm. 291.
- Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld. 8, hlm. 278.
- Al-Kāmil fi al-Tārikh, jld. 4, hlm. 182.
- Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld. 8, hlm. 279 dan 280, Al-Kāmil fi al-Tārikh, jld. 4, hlm. 184-186.
- Tasyayu dar Masir Tārikh, hlm. 232 dan 233.