Ikuti Kami Di Medsos

Kajian Islam

Bulan Rajab dan Jalan Pintas Mencapai Spiritualitas

Ahlulbait Indonesia, 22 Desember 2025 — Ketakwaan bukanlah sebuah titik yang dicapai sekali lalu selesai. Ketakwaan adalah perjalanan panjang, kadang mendaki, kadang terjerembap, yang tidak selalu lurus dan tak pernah benar-benar bertepi. Dalam perjalanan spiritual ini, manusia bisa melangkah cepat, melambat, bahkan jatuh dari ketinggian yang telah dicapainya sendiri. Al-Qur’an mengingatkan kita bahwa ada manusia yang pernah berada di puncak kedekatan dengan Allah, tetapi tergelincir karena mengikuti hawa nafsu. Karena itu, ketakwaan bukan hanya status, melainkan proses yang harus terus dijaga.

Sebagai umat Nabi Muhammad SAW, kita hidup dengan usia yang relatif singkat. Rata-rata hanya enam atau tujuh dekade. Dengan usia seperti itu, mustahil rasanya menempuh perjalanan spiritual sepanjang umat-umat terdahulu yang hidup ratusan bahkan ribuan tahun. Namun, justru di situlah letak kasih sayang Allah kepada umat ini. Allah menyediakan “jalan pintas” agar perjalanan spiritual dapat ditempuh lebih cepat, yaitu melalui keutamaan tempat dan keutamaan waktu.

Ada tempat-tempat yang membuat satu ibadah bernilai berlipat. Salat di masjid lebih utama daripada di rumah. Di Masjid Nabawi nilainya lebih tinggi, dan di Masjidil Haram nilainya jauh melampaui itu semua. Tetapi selain tempat, Allah juga menyediakan waktu-waktu istimewa. Lailatul Qadar adalah contoh paling dikenal sebagai satu malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan.

Dalam konteks inilah bulan Rajab mendapatkan maknanya.

Rajab bukan hanya perkara satu dari dua belas bulan dalam kalender Hijriah. Rajab adalah salah satu dari empat bulan haram, bulan yang dimuliakan dan dihormati sejak dahulu. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang status Rajab sebagai bulan haram. Dalam bulan ini, kehormatan dilipatgandakan, dan pelanggaran pun dipandang lebih berat. Tradisi menghormati bulan-bulan haram bahkan telah dikenal sejak masa pra-Islam, dan Islam tidak menghapusnya, melainkan meneguhkannya.

Namun, justru di sinilah perdebatan muncul. Sebagian kalangan menolak pengkhususan ibadah di bulan Rajab, terutama puasa, dengan alasan bahwa banyak hadis tentang keutamaannya dinilai lemah bahkan palsu. Mereka menyebut pengagungan Rajab sebagai sisa tradisi jahiliah yang tidak layak dipertahankan.

Pandangan ini perlu dibaca dengan lebih jernih dan adil. Hadis yang dinilai dhaif tidak otomatis berarti palsu. Dhaif menunjukkan bahwa jalur periwayatannya tidak cukup kuat untuk dijadikan dasar akidah atau hukum halal-haram. Tetapi para ulama sepakat bahwa hadis dhaif masih dapat diamalkan dalam konteks fadhā’ilul a‘māl, keutamaan amal, akhlak, dan kesunahan selama tidak bertentangan dengan prinsip dasar syariat.

Bahkan ada kaidah yang dikenal luas di kalangan ulama, dikenal sebagai kaidah man balagha, yang maknanya: siapa yang mendengar suatu riwayat tentang pahala suatu amal, lalu ia mengamalkannya dengan harapan pahala dari Allah, maka Allah akan memberinya pahala tersebut, meskipun riwayat itu tidak terbukti secara pasti. Kaidah ini diterima luas oleh para ulama, baik dari kalangan Ahlusunah maupun Syiah, meski ada sebagian kecil ulama yang mengambil sikap lebih ketat.

Selain itu, pertanyaan mendasarnya sederhana, adakah larangan berpuasa di bulan Rajab? Tidak ada. Puasa pada dasarnya adalah ibadah yang disunnahkan di semua hari, kecuali hari-hari yang secara tegas dilarang seperti Idulfitri dan Iduladha. Maka, puasa di bulan Rajab, baik diniatkan secara umum maupun khusus, tetap berada dalam wilayah kesunahan.

Lebih dari itu, Rajab memiliki posisi simbolik yang unik. Tiga bulan haram—Dzulqa‘dah, Dzulhijjah, dan Muharram—berurutan. Sementara Rajab berdiri sendiri, terpisah dari yang lain. Seakan-akan satu Rajab “menyamai” bobot tiga bulan haram lainnya. Struktur waktu ini bukan tanpa makna. Struktur ini memberi isyarat bahwa Rajab memang memiliki keistimewaan tersendiri.

Dalam riwayat Ahlul Bait, keutamaan Rajab disebutkan secara lebih tegas. Rajab disebut sebagai Syahrullah, bulan Allah. Sya‘ban adalah bulan Rasulullah, dan Ramadan adalah bulan umatnya. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa siapa yang berpuasa satu hari di bulan Rajab karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka akan mendapatkan keridaan Allah yang agung.

Bulan Rajab juga dipenuhi peristiwa besar dalam sejarah Islam, khususnya dalam sejarah Ahlul Bait. Pada 13 Rajab, dunia menyambut kelahiran Ali bin Abi Thalib, satu-satunya manusia yang lahir di dalam Ka‘bah. Sebuah kelahiran yang bukan hanya biologis, tetapi simbolik: lahir di rumah Allah, hidup untuk Allah, dan syahid di rumah Allah. Tidak ada manusia lain yang memiliki lintasan hidup seutuh itu.

Ali a.s. adalah figur yang keutamaannya tidak bisa ditutupi oleh distorsi sejarah. Ilmunya, keberaniannya, kezuhudannya, ibadahnya, dan pengorbanannya direkam dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi. Tidurnya di ranjang Rasulullah saat hijrah, jihadnya di Khandaq, sedekahnya, puasanya, dan ilmunya menjadi teladan lintas zaman.

Rajab juga menjadi saksi peristiwa-peristiwa lain, yaitu Isra dan Mi‘raj pada 27 Rajab, wafatnya tokoh-tokoh agung Ahlul Bait, dan momentum-momentum spiritual yang mengajak umat Islam untuk berhenti sejenak, menata niat, dan mempercepat langkah menuju Allah.

Pada akhirnya, Rajab bukan soal perdebatan teknis hadis semata. Rajab adalah undangan. Undangan untuk memanfaatkan waktu yang dimuliakan, memperbanyak istighfar, puasa, doa, dan amal saleh. Undangan untuk menempuh perjalanan spiritual dengan kesadaran bahwa Allah telah menyediakan jalan-jalan percepatan bagi hamba-Nya yang ingin mendekat.

Rajab datang setiap tahun, tetapi belum tentu kita akan menemuinya kembali. Maka, siapa pun yang diberi kesempatan berada di dalamnya, sungguh sedang diberi ruang rahmat. Tinggal satu pertanyaan tersisa, apakah kita akan melewatinya sebagai bulan biasa, atau sebagai gerbang menuju perubahan diri? []

Sumber: Khotbah Jumat ICC (https://www.youtube.com/watch?v=CWQto-_VuJE)

Continue Reading