Opini
Pancasila: Ideologi Agung yang Terlupakan dalam Parade Seremonial
Oleh: Media ABI
Ahlulbait Indonesia – Setiap tanggal 1 Juni, bangsa ini kembali mematung dalam barisan, mengenakan batik terbaik, menyanyikan lagu kebangsaan, dan mengucapkan selamat ulang tahun kepada sesuatu yang nyaris tak dikenalnya secara utuh, yaitu Pancasila.
Upacara digelar. Spanduk dikibarkan. Pidato dilantunkan. Namun usai semua itu, hidup kembali ke rutinitas lama yang telah mapan, mencederai nilai-nilai yang baru saja diagungkan.
Pancasila, yang diperkenalkan oleh Bung Karno dalam sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945, bukan sekadar dokumen historis atau pernyataan formal. Ia adalah fondasi ideologis bangsa, sebuah kompas moral dan politik yang seharusnya menuntun arah perjalanan republik. Tapi seperti kitab suci yang dibacakan tanpa diamalkan, Pancasila seringkali hadir sebagai teks suci yang hanya indah dalam bunyi, namun asing dalam perilaku.
Betapa ironis, bahwa sebuah bangsa yang begitu sering menggelar peringatan atas kelahiran ideologinya, justru begitu jarang merenungkan bagaimana Pancasila benar-benar hidup dalam denyut nadi rakyatnya. Kita lebih fasih melafalkan sila-sila, ketimbang mengupayakan kehadirannya dalam kehidupan sehari-hari.
Tahun ini, tema yang diangkat adalah “Memperkokoh Ideologi Pancasila Menuju Indonesia Raya.” Judulnya menggugah, semangatnya membara. Namun apa maknanya jika peringatan ini tak melahirkan introspeksi mendalam? Bagaimana mungkin kita berbicara tentang penguatan ideologi jika para elit justru sibuk memperdebatkan hal-hal remeh temeh, sibuk menjual jargon mencatut nama rakyat dan sibuk mengamankan posisi dalam konstelasi kekuasaan?
Sila pertama, berbicara tentang Ketuhanan Yang Maha Esa, sebuah pengakuan luhur bahwa kehidupan berbangsa ini berdiri di atas fondasi spiritualitas dan toleransi. Namun, terlalu banyak warga bangsa yang justru dipersulit untuk menjalankan keyakinannya sendiri. Ibadah dibatasi, tempat suci ditolak berdiri, dan keyakinan kerap menjadi alat diskriminasi. Di negeri yang katanya menjunjung tinggi ketuhanan, keesaan tampaknya hanya berlaku bagi tafsir mayoritas.
Sila kedua, menegaskan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, tetapi realitas menunjukkan betapa kemanusiaan sering dikompromikan demi keuntungan segelintir pihak. Harga pendidikan tinggi melambung, menjadi beban permanen bagi rakyat kecil. Padahal ilmu adalah hak, bukan kemewahan yang hanya bisa dijangkau oleh anak-anak kelas menengah ke atas.
Baca juga : Bersuaralah untuk Palestina, Jangan Hanya Jadi Penonton
Sila ketiga, menyerukan persatuan Indonesia, namun kenyataan di lapangan lebih sering memperlihatkan kebalikan. Narasi perpecahan dibiarkan tumbuh subur, diperkuat oleh algoritma media sosial dan retorika elite yang justru memperlebar jurang. Bukan kesatuan yang dibina, melainkan polarisasi yang dipelihara demi suara, demi kursi, demi kekuasaan.
Sila keempat, menempatkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan sebagai roh demokrasi. Tetapi musyawarah itu kini direduksi menjadi transaksi. Keputusan politik lebih banyak lahir dari lobi-lobi ruang tertutup dan permainan kekuasaan, bukan dari suara rakyat atau aspirasi konstituen. Kebijakan diukur dengan nilai tukar, bukan nilai keadilan.
Dan sila kelima, tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, barangkali adalah mimpi yang terus dideklarasikan, namun belum pernah sungguh-sungguh dikejar. Kekayaan negeri ini masih terkonsentrasi di tangan segelintir elite yang kenyangnya berlipat-lipat, sementara sebagian besar rakyat harus rela antre bantuan, memikul utang, dan hidup dalam ketidakpastian.
Kita tentu tidak kekurangan pidato. Tidak kekurangan panitia, pengurus, atau ahli narasi kebangsaan. Yang kita kekurangan justru adalah keberanian moral untuk menafsirkan Pancasila sebagai mandat perjuangan, bukan sekadar hiasan protokol negara.
Sungguh, jika Pancasila hendak dijadikan alat pemersatu bangsa menuju Indonesia Emas 2045, maka langkah pertama adalah berhenti menjadikannya sekadar ornamen perayaan. Kita harus memulainya sebagai sikap hidup, bukan sekadar tema seminar.
Dan tentu, tanggung jawab ini tidak berhenti di pundak para pemimpin. Ia juga terpikul oleh kita semua, rakyat biasa, mahasiswa, buruh, petani, hingga aparatur negara. Sebab ideologi, pada akhirnya, bukan sekadar produk undang-undang. Ia hidup dalam cara kita memanusiakan manusia, memperjuangkan keadilan, menjaga kesatuan, dan menjunjung nilai luhur yang tak bisa dipalsukan dengan seremoni tahunan.
Bila Pancasila adalah jiwa bangsa, maka biarkan ia bernafas. Bukan sekadar diletakkan di mimbar, dihafal dalam pelajaran, atau digantung di dinding. Biarkan ia bergerak dalam kebijakan, merasuk dalam pelayanan publik, dan tumbuh dalam karakter generasi muda.
Jika tidak, maka setiap tanggal 1 Juni hanyalah satu babak lagi dalam sandiwara panjang sebuah bangsa yang terus merayakan ideologi yang belum pernah benar-benar dijalani.[]
Baca juga : Kedaulatan Energi: Pelajaran dari Ketegasan Iran untuk Indonesia
