Ikuti Kami Di Medsos

14 Manusia Suci

Imam Hasan Mujtaba: Kelembutan Seorang Imam di Tengah Kekerasan Zaman

Imam Hasan Mujtaba: Kelembutan Seorang Imam di Tengah Kekerasan Zaman

Ahlulbait Indonesia — Di tengah gelombang fitnah dan propaganda yang dilancarkan oleh rezim Muawiyah, sosok Imam Hasan Mujtaba a.s. tetap memancarkan cahaya akhlak luhur dan kemuliaan budi. Suatu hari, seorang pria dari Suriah yang telah disesatkan oleh hasutan kebencian terhadap keluarga Rasulullah SAW melihat Imam Hasan a.s. tengah menunggang kuda. Tanpa ragu, ia melontarkan serangkaian hinaan dan kutukan terhadap cucu Nabi itu, membabi buta dalam dendam yang bukan berasal dari dirinya sendiri, melainkan ditanamkan oleh kebohongan sistematis.

Namun, alih-alih membalas, Imam Hasan a.s. justru mendekatinya dengan senyum lembut dan berkata dengan penuh kelembutan:

“Kurasa engkau adalah orang asing di negeri ini. Mungkin engkau keliru mengenaliku. Jika engkau menenangkan kami, kami akan memuaskanmu. Jika engkau meminta sesuatu, kami akan memberikannya. Jika engkau butuh nasihat, kami akan membimbingmu. Jika engkau membutuhkan tumpangan, makanan, pakaian, tempat tinggal, atau kekayaan, kami siap membantumu. Bahkan jika engkau ingin menjadi tamu kami, bawaanmu kami perlakukan sebagai milik kami sendiri.”

Kebaikan hati itu menyentuh batin sang pendosa. Ia berkata dengan mata berkaca:

“Aku bersaksi bahwa engkau adalah khalifah Allah di bumi. Allah lebih tahu kepada siapa Ia mempercayakan risalah-Nya. Dahulu, engkau dan ayahmu adalah orang yang paling kubenci. Kini, kalian adalah yang paling kucintai.”

Imam Hasan a.s. pun menerimanya sebagai tamu hingga ia kembali pulang dengan hati dan pemahaman yang telah berubah total. Sebuah kemenangan sejati yang tidak diperoleh lewat pedang, melainkan lewat kasih sayang dan keluhuran budi.

Namun, sejarah mencatat bahwa pribadi seagung ini harus bergulat dengan intrik dan kekerasan politik pada masa kekhalifahannya. Muawiyah bin Abi Sufyan, musuh bebuyutan ayahnya Imam Ali a.s., terus berambisi menguasai kekhalifahan dengan segala cara. Bersembunyi di balik kedok menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman, ia secara bertahap mengerahkan pasukan besar ke Irak, pusat pemerintahan Imam Hasan a.s. dan mulai menyuap serta memanipulasi para komandan pasukan Imam dengan harta dan janji kekuasaan.

Baca juga : Sayyidah Zainab Mendeklarasikan Pengorbanan Imam Husain

Situasi semakin genting ketika pasukan Imam mulai membelot, dan Imam pun dipaksa untuk menempuh jalan damai. Ia menyerahkan tampuk kekhalifahan kepada Muawiyah dengan sejumlah syarat, di antaranya: kekhalifahan akan kembali ke tangan Imam Hasan a.s. setelah kematian Muawiyah, dan keluarga Rasulullah serta para pengikutnya dijamin keselamatannya.

Namun, setelah resmi mengambil alih kekuasaan, Muawiyah mengingkari seluruh perjanjian secara terbuka. Dalam pidato publiknya di Kufah, ia menyatakan bahwa perdamaian hanya tipu muslihat, dan ia tidak terikat oleh janji apa pun. Sejak saat itu, tekanan, teror, dan penganiayaan terhadap Ahlul Bait dan kaum Syiah berlangsung sistematis. Imam Hasan a.s. menjalani hidupnya dalam tekanan, pengawasan, dan bahaya, bahkan di dalam rumahnya sendiri.

Puncaknya, pada tahun 50 Hijriah, Imam diracun oleh salah seorang anggota keluarganya sendiri, sebuah pengkhianatan yang dicatat sejarah sebagai buah dari bujukan dan iming-iming Muawiyah. Syahidnya Imam Hasan a.s. menandai sebuah babak tragis dalam sejarah umat Islam: wafatnya seorang pemimpin yang menjadi simbol ketabahan, pengampunan, dan kebijaksanaan dalam menghadapi zaman yang dirundung kekacauan moral dan politik.

Dalam sosok Imam Hasan a.s., kita melihat refleksi dari ayahandanya Imam Ali a.s., dan jejak agung dari kakeknya, Rasulullah SAW. Bahkan semasa hidup Nabi, beliau dan saudaranya, Imam Husain a.s., senantiasa berada di sisi sang kakek tercinta digendong, dipeluk, dan dipuji sebagai “pemimpin para pemuda surga.”

Imam Hasan a.s. bukan hanya pemimpin spiritual dan politik, tetapi juga puncak akhlak kemanusiaan yang mengubah kebencian menjadi cinta, dan musuh menjadi sahabat. []

Sumber:

  1. Allamah Sayyid Muhammad Husayn Tabatabai, Shia in Islam
  2. Ziyaraat.net

Baca juga : Prinsip Imam Husain Untuk Tidak Berdiam Diri Terhadap Kezaliman