Kegiatan ABI
KETUM ABI: Kemaslahatan Islam Bukan Unsur Impor dari Luar

Ahlulbait Indonesia, Jakarta, 17 April 2025 – Ketua Umum Ahlulbait Indonesia (ABI), Ustadz Zahir Yahya, menegaskan bahwa konsep kemaslahatan dalam Islam bukanlah unsur eksternal yang diimpor dari luar, melainkan substansi asli dan inheren dari ajaran Islam itu sendiri. Penegasan tersebut beliau sampaikan dalam sambutan kunci bertajuk “Landasan Konseptual dan Arah Beragama Maslahat” pada Diskusi Tematik yang diselenggarakan oleh Departemen Litbang DPP ABI, Kamis (17/4), bertema “Beragama Maslahat: Arah Baru Pemikiran Keagamaan.”
Dalam sambutannya, Ustadz Zahir memaparkan bahwa salah satu program kerja nasional Ormas ABI untuk periode 2024–2029 adalah mengembangkan kajian di berbagai bidang seperti agama, sosial, ekonomi, dan pendidikan. Inisiatif ini bertujuan membentuk perspektif keagamaan yang relevan dengan dinamika zaman serta tetap berakar pada tata nilai yang diyakini umat.
Lebih lanjut, ABI ingin berkontribusi dalam wacana beragama maslahat, sebuah paradigma yang dipandang mampu menopang ketahanan budaya, sosial, dan ekologi yang sejalan dengan arah kebijakan nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045.
Dalam konteks ukhuwah Islamiyah, Ustadz Zahir menekankan bahwa umat Islam, baik dari kalangan Syiah maupun Ahlusunah, memiliki titik temu dalam dua prinsip dasar: pertama, kemaslahatan sebagai segala sesuatu yang melahirkan kebaikan dan kemanfaatan; kedua, maslahat sebagai asas dan tujuan syariat Islam.
Beliau menguraikan bahwa landasan konseptual maslahat dapat ditelusuri dari tiga sumber utama: Al-Qur’an, hadis, dan akal sehat. Dalam Al-Qur’an (QS. Yunus: 57), kemaslahatan dijabarkan melalui empat bentuk: nasihat (mauidhah), penyembuhan, petunjuk, dan rahmat. Sedangkan dalam hadis, disebutkan bahwa setiap perkara yang dihalalkan Islam membawa manfaat bagi umat manusia, sementara yang diharamkan justru merusak dan tidak dibutuhkan.
Baca juga : ABI Lantik Dewan Penasihat dan Dewan Pakar Periode 2024–2029
Menurut logika keagamaan, karena Allah SWT adalah Zat Maha Bijak, semua ketetapan-Nya memiliki tujuan tertentu yang berujung pada kemaslahatan manusia, bukan untuk keuntungan Allah, melainkan demi kebaikan hamba-Nya. Oleh karena itu, unsur maslahat dalam hukum Islam bukan sekadar atribut tambahan, melainkan esensi, substansi, sekaligus tujuan dari syariat itu sendiri.
Meski demikian, Ustadz Zahir menggarisbawahi pentingnya membedah lebih dalam berbagai aspek maslahat yang layak didiskusikan lebih lanjut, seperti: apakah maslahat dimaksud bersifat duniawi atau ukhrawi? Apakah untuk pelaku atau pihak lain? Apakah maslahat bersifat personal atau kolektif, terutama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Siapa yang memiliki otoritas menentukan maslahat? Dan pertanyaan-pertanyaan mendasar lainnya.
Beliau juga menyampaikan analogi seputar penentuan Hari Raya Idul Fitri: Apakah berlebaran secara serentak meski bertentangan dengan hasil ilmu falak lebih maslahat bagi umat? Ataukah membiarkan perbedaan penetapan Idul Fitri berdasarkan metodologi masing-masing, disertai edukasi publik, justru lebih maslahat dalam konteks kematangan beragama?
Sebagai penutup, Ustadz Zahir menegaskan urgensi pembangunan epistemologi maslahat Islam agar umat memiliki fondasi yang kokoh dalam memaknai dan menerapkannya secara tepat dalam kehidupan.
Diskusi ini turut menghadirkan narasumber kredibel dari berbagai disiplin ilmu, yaitu:
1. Dr. Muhsin Labib (Dewan Syura ABI): “Beragama Maslahat dalam Timbangan Aql dan Naql”
2. Prof. Dr. Media Zainul Bahri (Guru Besar Pemikiran Islam UIN Jakarta): “Beragama Maslahat: Solusi Problematika Masyarakat Muslim Kontemporer”
3. Dr. Aji Sofanudin (Kepala Pusat Riset Agama dan Kepercayaan BRIN): “Beragama Maslahat sebagai Basis Pembangunan Bangsa Menuju Indonesia Emas 2045”
Diskusi ini dimoderatori oleh Dr. Sabara Nuruddin, Ketua Departemen Litbang DPP ABI.
Dengan digelarnya forum ini, ABI berharap pemikiran beragama maslahat dapat semakin mengakar sebagai pendekatan keagamaan yang tidak hanya relevan secara spiritual, tetapi juga solutif secara sosial dan nasional.[]
Baca juga : KETUM ABI: “ABI Adalah Kita Semua! ”