Ikuti Kami Di Medsos

Opini

Pertemuan Muscat: Teater Damai Amerika Menuju Pengkhianatan

Pertemuan Muscat: Teater Damai Amerika Menuju Pengkhianatan

Oleh: Muhlisin Turkan

Ahlulbait Indonesia – Sebelum Muscat menjadi tuan rumah bagi babak baru perundingan tidak langsung antara Republik Islam Iran dan Amerika Serikat, publik internasional kembali disuguhi narasi basi: “Amerika ingin damai.” Namun, seperti biasa, di balik kemasan diplomasi, tersimpan skenario pengkhianatan yang telah terprogram secara sistemik.

Dalam editorial terbarunya yang diterbitkan pada Ahad (13/4), Hossein Shariatmadari; pemimpin redaksi harian Kayhan sekaligus suara strategis Republik Islam, membongkar isi awal negosiasi yang digelar di Muscat. Draf yang diajukan oleh Steve Witkoff, utusan pemerintahan Trump, dan diserahkan langsung kepada Wakil Menteri Luar Negeri Iran Sayyid Abbas Araqchi, sepenuhnya bertolak belakang dengan citra yang selama ini dibangun oleh media Barat maupun sejumlah pejabat Amerika.

Isi Draf: Tidak Mengancam, Tapi Menyesatkan

Dalam catatan Shariatmadari, berdasarkan laporan terpercaya yang diterima Kayhan, draf Witkoff tidak memuat satu pun poin mengenai pembongkaran fasilitas nuklir Iran, apalagi ancaman intervensi militer. Retorika intimidatif yang selama ini mewarnai diplomasi AS sama sekali absen. Fokusnya hanya pada satu hal: menegaskan sifat non-militer dari program nuklir Iran—sebuah fakta yang telah berulang kali ditegaskan Teheran dan diverifikasi langsung oleh IAEA.

Dengan kata lain, seluruh kampanye global tentang “ancaman nuklir Iran” ternyata hanyalah teater psikologis yang dimaksudkan untuk mendongkrak posisi tawar Amerika. Bukan karena ada bahaya nyata, tapi karena mereka tahu Iran tidak tunduk pada logika hegemoni.

Pertanyaan Kunci: Apa Jaminannya?

Namun, lebih penting dari isi draf tersebut adalah pertanyaan fundamental yang harus menjadi dasar dari setiap langkah diplomasi:

“Asumsikan kita mencapai kesepakatan, apa jaminannya bahwa Trump tidak akan memperlakukan perjanjian ini seperti JCPOA dahulu?”

JCPOA: Bukti Nyata Pengkhianatan Terbuka

JCPOA bukanlah perjanjian bilateral biasa. Ia adalah perjanjian multilateral yang diteken oleh P5+1 dan dilegalisasi oleh Dewan Keamanan PBB melalui Resolusi 2231. Tapi Trump dengan arogansi imperialisnya, secara sepihak keluar dari kesepakatan itu dan menyebutnya sebagai “perjanjian terburuk”, lalu dengan pongah mengumumkan bahwa dirinya telah “merobeknya”.

Langkah itu bukan hanya penghinaan terhadap diplomasi multilateral, tetapi juga penistaan terang-terangan terhadap sistem hukum internasional. Maka pertanyaan Shariatmadari bukan sekadar kekhawatiran. Itu adalah syarat minimal bagi rasionalitas politik.

Baca juga : Diplomasi di Ujung Laras: Ketika Ancaman Dipoles Sebagai Perdamaian

Negosiasi Tanpa Jaminan Adalah Perang Dalam Format Baru

Jika perjanjian sebesar dan selegal JCPOA bisa diabaikan tanpa konsekuensi, apa arti dari negosiasi baru yang bahkan belum tentu memiliki legitimasi internasional serupa?

Negosiasi tanpa jaminan konkret bukanlah jalan menuju perdamaian. Ia adalah bentuk lain dari perang hibrida berbasis diplomasi dan jebakan teks hukum.

Arahan Pemimpin Revolusi: Tegas, Nyata, dan Tidak Bisa Ditawar

Sikap Republik Islam terhadap diplomasi bukanlah penolakan terhadap dialog, tetapi perlawanan terhadap tipu daya. Itulah mengapa Imam Sayyid Ali Khamenei, dalam pidatonya pada 9 April 2021 (20 Farvardin 1400), menyatakan dengan tegas:

“Seluruh sanksi harus dicabut secara nyata, sehingga Republik Islam Iran dapat memverifikasinya. Pencabutan sanksi yang hanya formal atau di atas kertas tidak ada artinya bagi kami.”

Bukan janji, bukan draft, bukan konferensi pers. Tapi hasil nyata: keuangan yang lepas dari blokade, transaksi yang berjalan tanpa tekanan, ekonomi yang bisa bernapas.

Iran “Super Opponent”

Laporan lembaga think tank Amerika, Harry Tij, yang dikutip oleh USA Today, menyebut Imam Khamenei sebagai:

“Super Opponent”, lawan strategis yang tidak bisa ditaklukkan dengan kekuatan militer maupun diplomasi licik.

Musuh tahu siapa yang mereka hadapi. Mereka bisa menindas Eropa, Kanada, dan Meksiko dengan tarif dan ultimatum. Tapi terhadap Iran? Mereka tidak berani.

Diplomasi Trump Adalah Pemerasan

Trump pernah berkata: “Kami mengenakan tarif berat pada Eropa. Sekarang mereka datang ke meja perundingan. Tapi selama mereka tidak membayar kami untuk masa kini dan masa lalu, tidak akan ada negosiasi.”

Jika ini cara mereka memperlakukan sekutu, bagaimana dengan musuh? Tetapi mereka sadar: Republik Islam Iran bukan koloni, bukan boneka, dan bukan pasar bebas bagi penjajahan modern.

Muscat: Cermin Ketulusan, Bukan Solusi Ajaib

Perundingan di Muscat bukanlah solusi instan. Ia adalah cermin yang membedakan siapa yang datang dengan ketulusan, dan siapa yang membawa perang dalam bungkusan damai.

Jika negosiator Iran teguh pada prinsip revolusioner dan panduan strategis Imam, Muscat akan jadi ujian kredibilitas musuh. Tapi jika prinsip dikompromikan, Muscat hanya akan menjadi pembuka untuk pengkhianatan jilid dua.[]

Baca juga : Diplomasi Kemanusiaan atau Diplomasi Kemunduran?