Ikuti Kami Di Medsos

Opini

Trumpianomics: Mantra Demagog yang Menggoyahkan Sekutu

Trumpianomics: Mantra Demagog yang Menggoyahkan Sekutu

Oleh: Muhlisin Turkan

Ahlulbait Indonesia – Jika kekuasaan adalah seni, maka Donald Trump adalah pelukis surealis yang dengan sengaja menumpahkan tinta kekacauan ke kanvas geopolitik global. Di tengah pusaran sejarah imperium yang menua, Trump muncul bukan sebagai arsitek perubahan, tetapi sebagai tukang ledak yang mencabut fondasi lama dengan granat tarif dan cuitan populis. Inilah “Trumpianomics”: aliran ekonomi-politik demagog yang menjual rasa takut, menyulap kebijakan menjadi reality show, dan menghancurkan kepercayaan internasional atas nama “America First”.

Thomas L. Friedman, kolumnis veteran The New York Times, menulis dengan cemas dalam artikelnya yang terbit 15 April, berjudul “I Have Never Been More Afraid for My Country’s Future”. Friedman bukan sosok kiri-radikal anti-imperialis. Justru karena ia bagian dari arsitek narasi globalisasi ala Washington, maka keterkejutannya menegaskan satu hal: tata dunia lama sedang runtuh dari jantungnya sendiri.

Trump bukan sekadar melempar tarif secara brutal ke semua penjuru; ia menyeret Amerika keluar dari peran lamanya sebagai bos demokrasi global menjadi preman jalanan yang memalak kawan dan lawan secara merata. Dalam kalkulasi Trump, tidak ada sekutu, hanya transaksi. Uni Eropa yang dahulu setia, Jepang yang pernah mengabdi, hingga Kanada yang bersaudara geografis, semua dipukul rata, disetarakan dengan Cina, Rusia, bahkan Iran.

Namun yang tengah runtuh hari ini bukan cuma logika pasar. Ini adalah runtuhnya simbol kepercayaan terhadap supremasi Barat itu sendiri. Rezim dolar, yang selama ini menjadi darah bagi tubuh hegemonik AS, mulai menunjukkan anemia. Dan seperti kebanyakan imperium dalam sejarah, kehancurannya bukan datang dari luar, tapi dari dalam: dari pasar yang panik, dari sekutu yang berbalik badan, dan dari rakyat yang dicekoki propaganda.

Baca juga : Pertemuan Muscat: Teater Damai Amerika Menuju Pengkhianatan

Sementara itu, Tiongkok; musuh yang selama ini dijadikan kambing hitam, tak perlu menembakkan satu peluru pun. Ia hanya perlu menunggu. Amerika Serikat, dalam gaya khas adidaya yang panik, sedang membakar dirinya sendiri: menabuh genderang perang dagang tanpa aliansi, tanpa strategi kolektif, dan tanpa legitimasi moral.

Sekutu-sekutu lama pun mulai migrasi arah. Uni Eropa menandatangani kesepakatan ekonomi dengan Beijing. Jepang memainkan strategi equidistance antara dua kutub. India melaju sebagai kekuatan regional yang makin enggan tunduk pada logika geopolitik pasca-Perang Dingin. Dunia sedang bergerak. Tapi bukan dalam orbit Amerika.

Dan Indonesia? Dalam lanskap ini, Jakarta masih tersesat dalam pencitraan digital dan euforia teknologi impor. Negeri yang pernah menjadi tuan rumah Konferensi Asia-Afrika 1955, kini lebih sibuk memburu impresi TikTok daripada menggagas strategi kedaulatan global. Para elite Republik ini tampak tergila-gila pada Elon Musk, seolah Starlink adalah mukjizat yang turun dari langit, padahal fungsinya tak beda dari parabola murahan buatan siswa SMK.

Di hadapan pilihan geopolitik yang kian terang: Beijing yang stabil atau Washington yang gaduh, Jakarta malah membiarkan dirinya larut dalam algoritma. Ketika rakyat bertanya ke mana arah bangsa, penguasa malah mengecek retweet dan likes.

Inilah dunia yang kita hadapi hari ini: satu fase akhir dari imperium Amerika. Kekuasaan global yang dulu menggurita kini retak oleh kontradiksi internal. Dan seperti lelucon sejarah yang pahit, semuanya dimulai bukan oleh senjata musuh, tetapi oleh tarif konyol seorang demagog bernama Donald Trump. Diteriakkan lewat Truth Social, dijadikan meme oleh TikTok, lalu dijual kembali ke dunia melalui parabola orbit rendah bernama Starlink.

Ketika imperium jatuh, ia akan tetap mencoba tampil spektakuler. Tapi di balik gemerlap propaganda, kita tahu: yang tersisa hanyalah puing dan kegilaan. []

Baca juga : Diplomasi di Ujung Laras: Ketika Ancaman Dipoles Sebagai Perdamaian