Mutiara Hikmah
Mengapa Kita Takut Mati? Refleksi Spiritualitas dan Kesiapan Jiwa
Ahlulbait Indonesia, 25 Oktober 2025 — Tak ada manusia yang sepenuhnya tenang di hadapan kematian. Bahkan jiwa yang paling beriman pun, pada suatu titik, gemetar membayangkan saat itu tiba. Namun mungkin yang sesungguhnya kita takuti bukanlah kematian itu sendiri, melainkan ketidaksiapan untuk menemuinya.
Kematian kerap tampak seperti jurang yang gelap, hanya karena kita tak pernah benar-benar mengenalnya. Pikiran modern, yang tumbuh dari logika duniawi, mengajarkan bahwa hidup adalah gerak, napas, kerja, dan cipta. Maka ketika semua itu berhenti, kita mengira segalanya telah usai.
Padahal, dalam pandangan Ilahi, kematian bukanlah akhir, melainkan peralihan, sebuah perjalanan dari ruang yang sempit menuju keluasan yang sejati.
Kita takut mati karena tiga hal: ketidaktahuan, keterikatan, dan ketidaksiapan. Namun sebelum membedah ketakutan itu, kita perlu menundukkan pandangan ke dalam, menelusuri ruang batin yang sering kita abaikan. Sebab pada hakikatnya, ketakutan terhadap kematian hanyalah bayangan dari cara kita memahami dan menjalani kehidupan itu sendiri.
1. Ketidaktahuan
Pikiran manusia kerap gelisah di hadapan misteri. Kematian adalah ruang sunyi yang tak bisa kita ukur, tak bisa kita ulang, dan tak bisa kita pahami sepenuhnya. Namun seperti seorang anak yang akhirnya berani melangkah ke laut setelah tahu bahwa ombak tidak akan menelannya, manusia akan lebih tenang menghadapi kematian ketika menyadari, bahwa kematian bukanlah kehancuran, melainkan kelanjutan dari hidup itu sendiri.
2. Keterikatan
Kita sering kali begitu nyaman dengan gemerlap dunia dengan benda, ambisi, reputasi, dan citra diri yang kita bangun dengan susah payah. Namun, ketika satu per satu semua itu menjauh, kita mendadak gelisah, seolah kehilangan diri sendiri. Padahal, apa pun yang kita miliki hanyalah titipan. Dunia ini bukan rumah abadi, melainkan persinggahan sementara di perjalanan yang jauh lebih panjang.
Baca juga : Pidato Ustadz Abdullah Assegaf: Seruan Karbala dan Tanggung Jawab Kita Hari Ini
3. Ketidaksiapan
Orang yang hidup tanpa arah akan gelisah di hadapan ujian terakhir. Namun bagi mereka yang menjalani hidup dengan makna, kematian bukanlah tragedi, melainkan hanya perubahan alamat, dari dunia yang sementara menuju rumah yang abadi.
Islam tidak mengajarkan untuk menolak kematian, melainkan untuk siap menghadapinya. Sebagaimana diisyaratkan dalam Al-Quran (QS. an-Nahl: 32), mereka yang mati dalam kesucian jiwa akan disambut para malaikat dengan salam damai: “Masuklah ke dalam surga karena apa yang telah kamu kerjakan.”
Mungkin cara terbaik menghadapi ketakutan akan mati bukanlah dengan menghindarinya, melainkan dengan memberi makna pada kehidupan itu sendiri. Sebab, ketika hidup dipenuhi makna, kematian berhenti terasa sebagai ancaman.
Kadang, di penghujung malam, ada baiknya kita menatap ke dalam diri, menghitung langkah, menimbang niat, dan menyadari arah perjalanan kita. Itu semacam latihan kecil sebelum menempuh perjalanan panjang menuju keabadian.
Sebab pada akhirnya, hanya amal yang lahir dari ketulusan yang akan tetap menyala ketika semua yang lain memudar.
Kematian bukanlah lawan kehidupan, melainkan penyempurna dari segala yang hidup. Yang gentar menghadapinya barangkali bukan takut pada kematian, melainkan belum sungguh memahami arti hidup itu sendiri. Sebab bagi jiwa yang tenteram, kematian bukanlah kegelapan, melainkan pintu yang terbuka menuju Cahaya.
Semoga kita dikaruniai keberanian untuk hidup dengan jujur dan benar, agar ketika saat itu tiba, kematian menjadi awal perjalanan, bukan akhir dari kehidupan.[MT]
Baca juga : Ayo… Menjadi Lebih Baik
