Ikuti Kami Di Medsos

Kegiatan ABI

Ustadz Zahir: Spiritualitas Ramadan Harus Melahirkan Kepedulian Sosial

Ustadz Zahir: Spiritualitas Ramadan Harus Melahirkan Kepedulian Sosial

Jakarta, Kamis (27/02) – Ketua Umum Ahlulbait Indonesia (ABI), Ustadz Zahir Yahya, menegaskan bahwa Ramadan bukan sekadar bulan ibadah, tetapi juga momentum penting untuk menata moralitas dan spiritualitas. Hal ini beliau sampaikan dalam rapat evaluasi bersama seluruh pengurus DPP ABI pada Kamis (27/02) di Kantor Pusat ABI, Jakarta Selatan.

Ramadan: Lebih dari Sekadar Ibadah

Menurut Ustadz Zahir, Ramadan memberikan kesempatan bagi setiap individu untuk memperkuat nilai-nilai luhur yang menjadi identitas manusia. Beliau menjelaskan bahwa spiritualitas dan moralitas bukan sekadar konsep abstrak, tetapi merupakan bagian tak terpisahkan dari manusia.

“Nilai-nilai seperti ketundukan dan kepedulian terhadap sesama adalah bagian esensial dari kemanusiaan. Jika nilai ini tercerabut, maka manusia hanya akan menjadi manusia secara potensial, tetapi belum secara aktual,” ujarnya.

Pentingnya Moral dan Spiritualitas dalam Kehidupan

Beliau menyoroti bahwa kehidupan tanpa moral dan spiritualitas sulit dibayangkan. Tanpa rasa syukur, ketundukan, dan kepedulian, manusia kehilangan arah dalam menjalani kehidupan. Dalam Islam, spiritualitas tidak berhenti pada kesalehan individu, tetapi harus berkembang menjadi kesalehan sosial.

“Islam mengajarkan bahwa ibadah tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi harus berdampak pada kehidupan sosial. Kesalehan individu harus membawa seseorang pada kepedulian sosial,” tegasnya.

Baca juga : Ali Ridho Assegaf Tekankan Arti Penting Legalitas dan Legitimasi Sosial bagi Eksistensi Organisasi

Ibadah sebagai Refleksi Kepedulian Sosial

Lebih lanjut, Ustadz Zahir menjelaskan bahwa ajaran Islam pada dasarnya mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri, masyarakat, dan lingkungan. Oleh karena itu, ajaran Islam seharusnya tercermin dalam aktivitas sehari-hari.

Meskipun beberapa bentuk ibadah terlihat sebagai praktik individual, seperti salat dan doa, sejatinya ibadah tersebut mengandung makna sosial yang mendalam. “Doa, munajat, dan ibadah lainnya adalah wujud hubungan kita dengan Tuhan, tetapi juga mencerminkan kepedulian kita terhadap sesama makhluk-Nya,” tambah beliau.

Merisaukan Nasib Sesama Tanpa Sekat Sosial

Islam juga mengajarkan untuk merisaukan nasib orang lain, bukan hanya diri sendiri dan keluarga. Prinsip kepedulian ini tidak terbatas pada sekat mazhab, ras, atau kebangsaan.

Beliau mencontohkan bagaimana dalam doa-doa di bulan Ramadan, kaum Muslim diajarkan untuk berdoa bagi semua orang, termasuk mereka yang telah meninggal dunia.

“Tidak cukup hanya memikirkan diri sendiri. Kita juga harus peduli terhadap mereka yang telah pergi, seperti dalam doa selepas salat di bulan Ramadan,” ujar beliau sebelum mengutip doa dari Mafatih Al-Jinan:

“Ya Allah, bahagiakanlah para penghuni kubur! Ya Allah, penuhilah seluruh kebutuhan mereka yang butuh! Ya Allah, kenyangkanlah orang-orang yang kelaparan! Ya Allah, berilah pakaian kepada mereka yang tidak berpakaian! Ya Allah, lunasilah utang mereka yang berutang! Ya Allah, bahagiakanlah orang-orang yang sedang dalam kesulitan!”

Doa Universal Tanpa Batas Perbedaan

Ustadz Zahir menegaskan bahwa dalam Islam, doa tidak eksklusif untuk kelompok tertentu, melainkan mencakup semua orang tanpa melihat latar belakang mereka. Beliau menekankan bahwa Islam mengajarkan umatnya untuk selalu mendoakan sesama, bahkan secara khusus menyebut nama mereka, terutama dalam salat malam.

“Dalam keheningan malam, tanpa ada yang melihat atau mendengar, kita diajarkan untuk dengan penuh ketulusan mendoakan sesama,” ungkap beliau.

Baca juga : Ustadz Husain Shahab: Konsistensi Adalah Kunci Keberhasilan Organisasi

Kepedulian sebagai Ciri Muslim Sejati

Beliau juga menyoroti pentingnya kepedulian sebagai ciri seorang Muslim sejati. Seorang Muslim tidak hanya peduli dalam ibadah yang bersifat individual, tetapi juga dalam kehidupan sosialnya.

“Tak mungkin seseorang mendoakan orang lain di malam hari, tetapi di siang hari abai terhadap mereka yang ada di sekitarnya. Itu adalah kontradiksi,” tegasnya.

Ketakwaan: Tujuan Utama Puasa

Lebih jauh, beliau mengaitkan puasa dengan tujuan utama dalam Islam, yaitu ketakwaan. Dalam Al-Qur’an, tepatnya dalam Surat Al-Baqarah ayat 4, ketakwaan dijelaskan sebagai perpaduan antara keimanan kepada yang gaib, mendirikan salat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang diberikan Allah.

“Ketiga aspek ini harus terintegrasi. Seperti tubuh manusia, yang baru dikatakan tumbuh sempurna jika seluruh organnya berkembang dengan baik. Jika ada bagian yang tidak berkembang, maka terjadi ketidakseimbangan,” jelasnya.

Teladan Ketakwaan dalam Perlawanan

Sebagai penutup, beliau mencontohkan ketakwaan yang sempurna dalam sosok-sosok panutan Islam. Salah satu tokoh yang beliau sebut adalah Sayyid Syahid Hasan Nasrullah, yang baru saja wafat.

“Beliau adalah ikon Perlawanan, panutan bagi seluruh Poros Perlawanan. Ketiga unsur ketakwaan ini ada dalam dirinya, menjadikannya figur yang sempurna dalam keteguhan spiritual dan sosial,” pungkasnya. []

Baca juga : Pelantikan Pengurus Pimpinan Nasional Muslimah ABI 2025-2030