Ikuti Kami Di Medsos

Opini

Eksperimen Emosi: Mengapa Kita Percaya Apa yang Mereka Katakan?

Eksperimen Emosi: Mengapa Kita Percaya Apa yang Mereka Katakan?

Oleh: Muhlisin Turkan

Ahlulbait Indonesia – Selamat datang di negeri di mana rakyat menjadi eksperimen emosi para pengamat, profesor, dan politikus—fasih berbicara, miskin fakta, tanpa malu. Di Indonesia, ada satu hukum tak tertulis yang terus berlaku—semakin lantang seseorang berteriak di televisi, semakin tinggi kemungkinan ia sedang meracik kebohongan yang indah.

Para antropolog mungkin menggambarkan manusia sebagai makhluk yang kompleks, tetapi di negeri ini, kompleksitas itu telah dikemas dalam bentuk retorika kosong yang dijajakan dengan apik. Sosiolog dan sejarawan boleh berkhotbah tentang modernitas, demokrasi, dan peradaban, tetapi kenyataannya, rakyat lebih sering disuguhi lakon politik yang membosankan: sandiwara abadi antara mereka yang mengaku “pro-rakyat” dan mereka yang dicap “pro-oligarki.” Bedanya? Tidak ada. Sebab, siapa pun yang menduduki kursi kekuasaan tetap akan sibuk menata masa depan—bukan untuk rakyat, tapi untuk dirinya sendiri. Sementara itu, rakyat dibiarkan menjadi penonton setia tanpa pernah diizinkan untuk mempertanyakan naskah yang sudah ditulis dengan rapi oleh sang sutradara.

Pernahkah kita bertanya, mengapa rakyat mudah terombang-ambing narasi politik? Mengapa seorang tokoh bisa dicaci pagi ini, lalu dielu-elukan sore nanti? Jawabannya tidak rumit—karena para “pengamat, profesor, dan politikus” yang menguasai panggung wacana memahami satu prinsip dasar: mayoritas orang lebih menyukai ilusi yang menenangkan daripada kebenaran yang menyakitkan. Mereka tahu bahwa mereka bisa berbicara apa saja, selama mereka menyampaikannya dengan nada berwibawa, dikemas dengan jargon intelektual, dan dihiasi dengan kata-kata yang menggugah rasa nasionalisme semu.

Baca juga : Ramadan di Gaza: Iman di Tengah Reruntuhan

Mari kita ambil contoh dari keseharian kita. Polemik seputar pemilu, kebijakan ekonomi, atau revisi undang-undang selalu dipenuhi dengan pertarungan narasi yang bising. Begitu sebuah pemerintahan baru terbentuk, naskah yang dimainkan tetap sama: ada yang menuding rezim baru sebagai boneka rezim sebelumnya, sementara yang lain mengagungkan pemimpin baru sebagai penyelamat bangsa. Kenyataannya? Kebijakan yang dihasilkan tetap berputar di orbit kepentingan elite, sementara kesejahteraan rakyat hanya menjadi dekorasi pidato kenegaraan.

Mengapa rakyat begitu mudah tergiring oleh narasi ini?

Jawabannya dapat ditemukan dalam teori Daniel Kahneman, yang menjelaskan bahwa manusia secara alami lebih cenderung mempercayai informasi yang paling mudah dicerna tanpa banyak berpikir. Fenomena ini disebut “Sistem Satu”—proses berpikir instan yang lebih mengandalkan intuisi daripada analisis mendalam. Sementara itu, Sigmund Freud menambahkan bahwa ketika seseorang dihadapkan pada kenyataan yang tidak sesuai dengan ekspektasinya, ia akan menggunakan mekanisme pertahanan seperti “reaction formation”—menekan realitas yang tidak menyenangkan dan menggantinya dengan kebohongan yang lebih nyaman.

Sama seperti politikus dan intelektual lokal yang terus-menerus membentuk persepsi masyarakat demi mempertahankan dominasi mereka, ilusi serupa juga terjadi dalam skala global. Retorika yang menyesatkan tidak hanya terbatas pada panggung domestik, tetapi juga dalam cara kita diajarkan melihat dunia. Sejak kecil, kita disuguhkan narasi tentang negara-negara Barat sebagai simbol peradaban, kemajuan, dan kebaikan universal. Kita didorong untuk percaya bahwa mereka adalah sahabat sejati, pembela demokrasi, dan penjaga ketertiban dunia.

Namun, kenyataan berbicara sebaliknya. Negara-negara Barat, seperti halnya para politikus kita, tidak bergerak berdasarkan moralitas, tetapi berdasarkan kepentingan. Mereka membangun hubungan bukan atas dasar persahabatan, tetapi atas dasar keuntungan strategis. Mereka hanya akan peduli selama ada kepentingan yang bisa mereka eksploitasi. Mereka yang sejak kecil percaya bahwa Barat adalah mitra sejati akan kesulitan menerima kenyataan ini. Maka, alih-alih menghadapi realitas, mereka memilih menyangkalnya, mengalihkan perhatian, atau bahkan menyerang siapa pun yang mencoba membuka mata mereka.

Baca juga : Terima Kasih atau Pergi: Diplomasi Oval dalam Era Bisnis

Maka, tidaklah mengejutkan bahwa dalam setiap isu besar, baik di tingkat lokal maupun global, kita selalu menemukan kelompok yang membela sesuatu yang seharusnya tidak masuk akal. Di tingkat nasional, kita menyaksikan bagaimana isu-isu ketimpangan ekonomi, politik, dan sosial lebih sering menjadi ajang caci maki daripada ruang diskusi. Setiap kebijakan yang diusulkan pasti akan disambut dengan dua respons standar: satu pihak menyanjungnya seperti wahyu yang turun dari langit, sementara pihak lain mengutuknya seolah kiamat sudah di depan mata. Dan yang paling ironis? Semua kebisingan ini sering kali dipimpin oleh orang-orang yang mengaku intelektual—para pengamat, profesor, dan politikus—yang lebih sibuk berakrobat dengan kata-kata daripada menawarkan solusi konkret.

Tantangan terbesar kita bukan sekadar melawan propaganda politik, tetapi juga membangun budaya berpikir kritis di tengah derasnya arus informasi. Kita terlalu sering membiarkan diri kita dimanipulasi oleh mereka yang mencari keuntungan dari ketidaktahuan kita.

Lantas, bagaimana kita bisa keluar dari siklus ini?

Salah satu langkah utama adalah meningkatkan literasi media dan memperkuat budaya skeptisisme yang sehat. Masyarakat harus mulai terbiasa untuk tidak hanya mengandalkan satu sumber informasi, tetapi membandingkan berbagai perspektif sebelum membentuk opini. Lebih dari itu, kita harus berani mempertanyakan, bukan sekadar menerima apa yang disodorkan kepada kita.

Selain itu, kita perlu membangun budaya politik yang lebih rasional. Kritik terhadap pemerintah maupun oposisi seharusnya didasarkan pada data dan fakta, bukan sekadar preferensi politik dan kebencian personal. Demokrasi hanya bisa berjalan dengan baik ketika warganya memilih untuk berpikir, bukan sekadar bersorak atau mencaci maki.

“Mengapa rakyat terus dibohongi dan dihina oleh para pengamat, profesor, dan politikus? Jawabannya sederhana: karena kita sengaja membiarkannya. Selama kita diam, mereka akan terus mengendalikan emosi kita, menyebar kebodohan sistematis dengan penuh percaya diri di bawah sorot lampu kamera dan layar televisi. Sementara itu, kita tetap bersorak dalam kebingungan, tenggelam dalam ketidaktahuan yang mereka ciptakan.”[]

Baca juga : Jejak Sang Syahid al-Muqawwamah: Mengubah Yaman Menjadi Benteng Perlawanan Arab & Islam