Opini
Keteguhan Imam Ja’far as-Shadiq: Inspirasi Abadi Perlawanan dari Madinah hingga Gaza

Ahlulbait Indonesia – Dalam peringatan syahadah Imam Ja’far as-Shadiq (as) yang digelar di Teheran pada Kamis, 24 April 2025, Pemimpin Tertinggi Republik Islam Iran, Ayatullah Sayyid Ali Khamenei, menyampaikan pesan mendalam yang merentang dari lembaran sejarah Islam hingga gelanggang Perlawanan masa kini. Pidato ini bukan sekadar refleksi keagamaan, melainkan penegasan bahwa ajaran para Imam Ahlul Bait (as) adalah fondasi moral dan strategis dari Perlawanan global melawan kezaliman.
Menyingkap Takdir yang Tertunda
Dalam pidatonya, Imam Ali Khamenei mengajak umat menengok kembali jalannya sejarah Islam pasca-Karbala. Beliau menegaskan bahwa sejak tahun 70 Hijriah, umat semestinya mengembalikan kepemimpinan kepada Ahlul Bait (as). Namun, ketidaksetiaan, kemunafikan, dan kelengahan kolektif menyebabkan tertundanya takdir tersebut hingga masa Imam Ja’far as-Shadiq (as) pada tahun 140 Hijriah.
Beliau mengulas makna strategis dari perdamaian Imam Hasan (as) dengan Muawiyah yang kerap disalahpahami. Perdamaian itu, menurutnya, adalah cara Imam membuka topeng kekuasaan tiranik Bani Umayyah. Namun, sejarah mencatat bahwa kelengahan umat setelah peristiwa Asyura membawa konsekuensi besar: perjalanan sejarah Ilahi mengalami penundaan. “Ini adalah pelajaran penting bagi kita semua,” tegasnya.
Imam Khamenei mengingatkan bahwa sejarah bukanlah takdir statis. Sejarah digerakkan oleh kesadaran, ketekunan, dan kecerdasan politik umat. Ketidakmampuan menjaga rahasia, ketidaksabaran, serta dangkalnya pemahaman terhadap dinamika kekuasaan dapat menggagalkan gerakan yang berakar pada nilai-nilai Ilahi.
Imam Shadiq: Pilar Intelektual dan Perlawanan
Lebih dari sekadar pendiri Mazhab Fikih, Imam Ja’far al-Shadiq (as) digambarkan sebagai arsitek kebangkitan intelektual Islam. Di tengah tekanan kekuasaan Abbasiyah, beliau berhasil membina lebih dari 4.000 murid. Menurut Imam Khamenei, angka tersebut bukan hanya statistik, tetapi wujud strategi penyebaran ilmu yang disiplin, berintegritas, dan penuh visi.
Imam Ali Khamenei juga membantah mitos sejarah yang menyebut Imam Shadiq tunduk kepada Khalifah Abbasiyah. “Kisah bahwa Imam memohon maaf kepada Mansur tidaklah benar,” tegasnya. “Para Imam kita tidak pernah merendahkan diri di hadapan penguasa. Mereka adalah lambang kemuliaan dan keteguhan.”
Keteguhan intelektual dan spiritual Imam Shadiq menjadi mercusuar dalam menghadapi tekanan zaman. Beliau tidak hanya membangun wacana, tetapi juga membentuk generasi yang sadar, kritis, dan siap menanggung konsekuensi dari kebenaran yang mereka perjuangkan.
Gaza dan Mata Rantai Perlawanan
Bagian paling menggugah dari pidato tersebut datang ketika Imam Khamenei menyambungkan garis perjuangan para Imam Ahlul Bait (as) dengan para pejuang kontemporer di Gaza dan Lebanon. Imam Ali Khamenei menegaskan bahwa mereka yang hari ini berdiri melawan tirani, menolak kompromi, dan mengusung harga diri umat, sejatinya sedang meneruskan jalan Imam Husain (as) dan Imam Shadiq (as).
Baca juga : Saat Barcode Jus Alpukat & Nasi Padang Jadi Mimpi Buruk Gedung Putih
Dengan nada optimistis dan penuh keyakinan, beliau menekankan bahwa Perlawanan bukan hanya konsep spiritual, melainkan juga realitas politik dan budaya yang hidup. Di tengah isolasi dan penderitaan, keteguhan Gaza menjadi cermin nyata dari warisan perjuangan Ahlul Bait (as).
Memantapkan Wacana Perlawanan Global
Pidato ini menegaskan kembali posisi Iran sebagai benteng terakhir dunia Islam dalam menghadapi hegemoni global. Ketika banyak negara memilih diam atau bersikap kompromistis terhadap penjajahan dan genosida, suara Imam Khamenei hadir sebagai penegas arah: bahwa kehormatan umat hanya dapat diraih melalui keteguhan, bukan akomodasi.
Pesan ini tidak hanya ditujukan bagi pendukung Poros Perlawanan, tetapi juga bagi dunia Islam secara keseluruhan. Di tengah kabut propaganda dan kebingungan moral, Imam Khamenei mengingatkan bahwa melawan ketidakadilan bukan hanya kewajiban politik, tetapi juga manifestasi iman yang murni.
Warisan yang Tak Pernah Padam
Dalam dialektika abadi antara kebenaran dan kebatilan, para Imam Ahlulbait (as) mewariskan prinsip yang tak lekang oleh waktu: bahwa keteguhan adalah pilar perubahan, dan Perlawanan adalah jantung dari keberislaman sejati. Dari Madinah hingga Gaza hari ini, mata rantai ini terus menyala.
Syahadah Imam Shadiq (as) menjadi momen refleksi sekaligus revitalisasi semangat juang. Sebuah pengingat bahwa jalan menuju keadilan adalah jalan panjang yang ditopang oleh ilmu, kesabaran, dan keberanian. Dan di era ini, sebagaimana dahulu, keteguhan tetap menjadi pembeda antara mereka yang hidup dalam kemuliaan dan yang tenggelam dalam kompromi.[]
Oleh: Muhlisin Turkan
Baca juga : Trumpianomics: Mantra Demagog yang Menggoyahkan Sekutu