Opini
Siklus Gaza: Dibangun Hari Ini, Dibom Besok, Dibahas di KTT Lusa

Oleh: Muhlisin Turkan
Ahlulbait Indonesia – “Di Timur Tengah, ada sebuah sandiwara yang terus dipentaskan tanpa henti. Israel membombardir Gaza dengan senjata canggih yang disuplai Amerika Serikat, lalu dunia Arab bergegas mengambil peran sebagai tukang bangunan. Seolah sudah tertulis dalam skenario, KTT Arab di Kairo pada Rabu (5/3/25) kembali mengesahkan ritual yang sama: proyek rekonstruksi Gaza senilai 53 miliar dolar AS yang akan berlangsung selama lima tahun. Angka yang luar biasa besar, tentu saja—tapi satu pertanyaan mendasar tetap menggantung: mengapa negara-negara Arab yang harus membayar harga untuk membangun kembali, sementara Israel yang menghancurkannya melenggang tanpa konsekuensi? Jika kehancuran Gaza adalah kejahatan perang, maka rekonstruksinya telah berubah menjadi bisnis tahunan yang menguntungkan para penghancurnya.”
Siklus Absurditas yang Tak Kunjung Usai
Rencana rekonstruksi Gaza ini seolah menjadi ritual wajib setiap beberapa tahun. Menteri Luar Negeri Mesir, Badr Abdel Ati, mengumumkan dengan bangga bahwa rencana ini telah mendapat restu penuh dari para pemimpin Arab. Tapi, apakah mereka juga sadar bahwa mereka sedang bermain dalam skenario yang sama seperti sebelumnya? Gaza dihancurkan oleh rudal-rudal Israel, lalu Mesir dan negara-negara Arab bekerja keras membersihkan reruntuhan dan membangunnya kembali—sampai Israel menghancurkannya lagi. Begitu terus, seperti sandiwara yang tak memiliki akhir.
Gaza kini tak ubahnya rumah kaca yang terus dilempari batu oleh tetangga brutalnya. Setiap kali kaca pecah, para pemimpin Arab datang dengan gulungan plastik dan lem kaca, memperbaiki pecahan-pecahan itu, hanya untuk melihatnya dihancurkan lagi beberapa bulan kemudian. Mungkin mereka bahkan sudah memiliki blueprint rekonstruksi dalam laci, siap dikirim setiap kali Israel memutuskan untuk menggempur.
Baca juga : Eksperimen Emosi: Mengapa Kita Percaya Apa yang Mereka Katakan?
Arab: Relawan Tak Digaji atau Pecundang yang Tak Berdaya?
Rekonstruksi ini mencakup pembangunan 200.000 unit rumah permanen, pembersihan puing-puing, dan menjinakkan bom-bom yang dijatuhkan Israel. Sang penghancur mengangkat bahu tanpa rasa bersalah, sementara para penguasa Arab sibuk menggalang dana dan membangun kembali reruntuhan yang mungkin dalam hitungan tahun akan rata dengan tanah lagi. Seolah Gaza adalah proyek properti abadi yang siklusnya sudah ditentukan: bangun, hancur, bangun lagi.
Lebih parahnya, beberapa negara Arab bahkan telah menormalisasi hubungan dengan Israel, seolah-olah Gaza hanyalah isu kecil di pinggiran meja perundingan. Uni Emirat Arab, Bahrain, Maroko, dan Sudan—semua telah menandatangani perjanjian normalisasi, menjalin kesepakatan dagang, dan bahkan berbagi teknologi keamanan dengan Israel. Di satu sisi, mereka bersimpati pada Gaza, di sisi lain, mereka bersalaman dengan penghancurnya.
Sementara itu, para pemimpin Arab duduk nyaman di hotel berbintang, menggelar konferensi penuh pidato kosong, sementara di Gaza, anak-anak mati tertimbun reruntuhan. Mereka berfoto bersama, tersenyum penuh wibawa, lalu kembali ke istana mereka, seolah semuanya baik-baik saja.
Ironisnya, ketika para pemimpin Arab sibuk berfoto dan mengeluarkan pernyataan kosong, dunia Barat juga tak kalah munafiknya. Mereka berbicara soal hak asasi manusia di satu sisi, tetapi di sisi lain, mereka terus menyuplai senjata bagi Israel.
Mengapa Dunia Barat Bersikap Munafik?
Ketika Rusia menyerang Ukraina, negara-negara Barat langsung menjatuhkan sanksi ekonomi besar-besaran sebagai bentuk hukuman. Tetapi ketika Israel menghancurkan Gaza, alih-alih sanksi, mereka justru menggelontorkan lebih banyak bantuan dan memperkuat hubungan dagang dengan Tel Aviv. Mungkin nyawa warga Palestina tidak seberharga warga Eropa?
Dunia Barat selalu bicara tentang hak asasi manusia, tapi anehnya, mereka lupa dengan hak-hak rakyat Palestina. Mungkin mereka hanya peduli pada hak asasi manusia yang sesuai dengan kepentingan bisnis dan geopolitik mereka?
Baca juga : Ramadan di Gaza: Iman di Tengah Reruntuhan
Israel dan AS: Penonton yang Selalu Menang
Yang paling menarik dari skenario ini adalah Israel dan AS yang duduk santai di tribun penonton. Israel meluncurkan serangan, AS menyuplai senjata, dan dunia Arab yang harus membersihkan kekacauan serta merogoh kocek mereka. Tidak ada sanksi, tidak ada pertanggungjawaban. Justru, Israel menikmati hampir $4 miliar bantuan militer setiap tahun dari AS, memastikan bahwa siklus ini terus berjalan tanpa hambatan.
Setiap tahun, AS memberikan hampir $4 miliar dalam bentuk bantuan militer ke Israel, memastikan bahwa mesin perang mereka tetap beroperasi. Tetapi itu belum cukup. Dalam setiap eskalasi, Kongres AS dengan cepat menyetujui miliaran dolar tambahan sebagai ‘bantuan darurat’ untuk mempercepat kehancuran Gaza. Di saat yang sama, resolusi PBB yang menyerukan gencatan senjata kembali diveto. Bagi AS, perang ini bukan sekadar konflik, tetapi investasi strategis.
Hentikan Kepengecutan, Hentikan Siklus Ini!
Jika dunia Arab benar-benar peduli pada Gaza, solusinya bukanlah terus-menerus membangun kembali setelah kehancuran. Rekonstruksi tanpa penghentian agresi Israel hanya akan menjadi panggung bagi penghancuran berikutnya. Apa gunanya membangun jika setiap rumah, sekolah, dan rumah sakit yang baru didirikan hanya akan menjadi target berikutnya bagi rudal-rudal Israel?
Miliaran dolar yang dialokasikan untuk rekonstruksi seharusnya digunakan untuk sesuatu yang lebih strategis:
1. Menghentikan hubungan diplomatik dan ekonomi dengan Israel. Jika beberapa negara bisa memboikot Rusia karena perang, mengapa tidak bisa terhadap Israel?
2. Menggalang sanksi ekonomi terhadap Israel, bukan hanya menyumbang untuk Gaza.
3. Menekan AS secara politik dan ekonomi, misalnya dengan embargo energi jika terus mendukung agresi Israel.
4. Menggunakan kekuatan diplomatik di Organisasi Kerjasama Islam (OKI) untuk membangun strategi kolektif melawan pendudukan Israel.
Jika dunia Arab hanya berani menggalang dana tanpa berani menuntut keadilan, maka mereka bukanlah penyelamat, melainkan bagian dari lingkaran absurditas yang menjaga status quo tetap berjalan.
Akhir Sandiwara Ini?
Bagaimanapun, bagi Israel, Gaza bukanlah sebuah kota, tetapi target latihan yang selalu diperbarui. Dan bagi pemimpin Arab? Gaza hanyalah latar belakang foto mereka, tempat untuk mengulang-ulang janji kosong yang tak akan pernah ditepati. Sampai kapan? Sampai siklus ini kembali berulang—dengan pidato baru, rekonstruksi baru, dan kehancuran baru.[]
Baca juga : Terima Kasih atau Pergi: Diplomasi Oval dalam Era Bisnis